HOME

Kamis, 21 Februari 2013

Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kepemimpinan (leadership). Hal ini, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena Islam memandang bahwa manusia pada dasarnya adalah pemimpin, yaitu wakil Allah SWT di muka bumi, khalifatullah fi al-ardh (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Dalam hadis shahih, Rasulullah saw menegaskan bahwa setiap orang (kamu) adalah pemimpin: Setiap kamu adalah pemimpin, dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya; seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. (HR. Bukhari dari sahabat Ibn Umar). Dalam hadis lain, Rasulullah bahkan memberikan intsruksi (arahan), bahwa apabila tiga orang dalam perjalanan atau bepergian, maka hendaklah ditunjuk salah seorang dari mereka sebagai imam atau pemimpin. Kedua, manusia sebagai makhluk social tidak akan berkembang dengan baik, tanpa kepemimpinan yang kuat dan mencerahkan (the inspiring leader). Menurut sosiolog Muslim Ibn Khaldun, ada 2 hal yang sangat diperlukan suatu masyarakat, (1), norma-norma hukum, dan (2), kepemimpinan (pemimpin) yang kuat. Kedua hal ini menjadi syarat mutlak lahirnya masyarakat yang beradab dan berbudaya tinggi. Tanpa keduanya, suatu masyarakat akan mudah terseret ke dalam perpecahan dan permusuhan yang berkepanjangan (chaos). Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah karena pemimpin menjadi salah satu factor penentu kemajuan (dan juga kebangkrutan) suatu masyarakat atau bangsa. Dalam adagium Arab ada ungkapan yang amat terkenal, yaitu: Manusia akan mengikuti agama raja-raja mereka Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas, maka soal kepemimpinan, termasuk di dalamnya memilih pemimpin menjadi hal yang sangat penting dalam pandangan Islam. 2, Arti dan Makna Kepemimpinan dalam Islam Kepemipinan (leadership) merupakan salah satu variable penting dalam kehidupan umat, bahkan menjadi factor penentu (determinant factor) kemajuannya. Menurut Imam Ghazali, hakekat kepemimpinan adalah pengaruh, yakni kedudukan seseorang di mata dan di hati umat (maqamuka fi qulub al-nas). (Ihya’ `Ulum al-Din, Tanpa Tahun, jilid 3, h. 45). Tanpa pengaruh, seorang tak dinamakan pemimpin meskipun ia secara formal memiliki dan memangku jabatan penting dalam pemerintahan, organisasi, maupun korporasi (perusahan).Tak adanya pengaruh ini diidentifikasi oleh Jeremie Kubicek sebagai matinya kepemimpinan, dalam bukunya yang kesohor, Leadership is Dead: How Influence is Reviving It!. (Jeremie Kubicek, New York, Howard Book, 2011), h, 12 dst.). Hakekat kepemimpinan, seperti telah disinggung, tak lain adalah pengaruh. Kepemimpinan adalah proses induksi [memengaruhi] orang lain agar bertindak menuju atau mencapai tujuan umum (the process of inducing others to take action toward a common goal). (Roland J Burke dan Cary L Coper, Inspiirng Leader, New York: Routledge, 2006, h. 6) atau tindakan memengaruhi orang lain agar mereka secara sukarela mencapai tujuan organisasi (influencing others to voluntarily pursue organizational goals). Pengertian lain, seperti dikemukakan Fred Smith, kepemimpinan adalah upaya memengaruhi orang lain agar mereka secara sadar melakukan apa yang tidak ingin mereka lakukan (Leadership is getting someone to willingly do what they don’t want to do). (Charles A Rarick, Leadership and Motivation in the New Century,Florida: Barry University, tt. h.2). Bertolak dari hakekat kepemimpinan ini, maka pemimpin yang efektif dan memuaskan, menurut John Zinger, adalah pemimpin yang inspiring [inspirasional] dalam arti mencerahkan dan menggerakkan orang lain mencapai kemajuan dan kemuliaan. Untuk itu, dalam pandangan Islam, kepemimpinan yang efektif dan mencerahkan itu, harus ditunjukkan paling tidak dalam tiga hal, yaitu: (1) pelayanan (khadamat), (2), kedekatan dan komunikasi alias keterhubungan dan ketersambungan dengan kepentingan rakyat (al-tabligh wa al-bayan), dan (3), keteladanan (qudwah hasanah). a, Pelayanan Pelayanan yang baik (khadamat) adalah hal yang paling pokok dalam kepemimpinan Islam. Dengan makna ini, maka kepemimpinan menjadi medium pengabdian yang tinggi kepada Allah SWT. Dalam perspektif Islam, pemimpin tidak dipahami sebagai ‘penguasa’ (apalagi joragan besar), tetapi justru pelayan yang harus bekerja keras untuk mebantu masyarakat. Pemimpin, kata tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, H.Agus Salim, adalah “menderita” dalam arti bekerja keras untuk rakyat, bukan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Para Nabi dan Rasul Allah adalah pemimpi-pemimpin sejati, karena kedudukan mereka sebagai “penggembala,” dalam arti pelayan dan pengayom umat. Diilihami oleh kepemimpinan para Nabi itu, Raja Fahd dari Arab Saudi, menyebut dirinya sebagai “Pelayan Dua Tanah Suci,” Mekah dan Madinah (Khadim al-Haramain), karena sebagai Raja (pemimpin), ia harus melayani kaum muslim yang datang ke sana untuk melaksanakan haji dan umrah dari seluruh dunia. Kakenda, Mu’assis Awwal As-Syafi`iyah, KH Abdullah Syafi`I, juga menyebut dirinya sebagai “Khadim al-Thalabah” (pelayan para santri), karena sebagai ulama ia harus melayani dan membimbing para santri dan jemaah yang hendak belajar kepadanya. Pendek kata, inti dari kepemimpinan Islam adalah berjuang dan bekerja untuk kemajuan umat. Dalam kaidah fiqih politik Islam disebutkan: Tindakan seorang pemimpin (imam) atas rakyat terikat (tak boleh keluar) dari kemaslahatan umum. b, Kedekatan dan Komunikasi dengan umat Kedekatan dan komunikasi dengan umat menjadi ide dasar kedua dalam kepemimpinan Islam. Ide ini mengajarkan bahwa tidak boleh ada jarak (gap) antara pemimpin dan umat. Berbagai masalah yang muncul belakangan ini, seperti maraknya paham dan aliran sesat, radikalisasi agama, anarkisme, dan lain-lain, ditengarai karena tak adanya komunikasi antara pemimpin dan umat. Pemimpin memang wajib berkomunikasi dengan umat. Oleh sebab itu, pemimpin dalam pandanagn Islam, tak boleh bisu, tetapi ia wajib memiliki sifat tabligh. Nabi Musa a.s. sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, berdo’a kepada Allah swt agar kata-kata (pikiran)-nya bisa dimengerti oleh kaumnya. "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku,” (QS. Thaha [20]: 25-28). Nabi Ibrahim a.s. malah meminta agar menjadi komunikator yang efektif, (lisana shidqin), yang kata-katanya abadi, tetap berpengaruh bagi orang-orang kemudian. Firman Allah: Dan Jadikanlah aku buah tutur (jurubicara) yang baik bagi orang-orang (yang datang) Kemudian (QS. Al-Syu`ara [26]: 84). Ini berarti, Nabi Ibrahim tak hanya menjadi pemimpin besar (great leader), tetapi juga sekaligus komunitor besar (great communicator) sebagai wujud kepeduliannya kepada kebaikan dan kemajuan umat. c. Keteladanan (Uswah Hasanah) Keteladanan (qudwah dan uswah hasanah) merupakan hal yang sangat penting dalam kepemimpinan Islam. Dalam bahasa modern keteladanan (qudwaah hasanah) ini disebut “lead by example,” yakni memimpin dengan memberi bukti, bukan janji. Keteladanan adalah kekuatan yang melahirkan pengaruh, aura, bahkan charisma. Kita semua mengetahui, bahwa pengaruh adalah kekuasaan (Influence is power). Karena berbasis keteladanan, kepemimpinan dalam perspektif Islam (leadership in the Islamic perspective) bergerak dari dalam ke luar (in side out), bukan sebaliknya, dipaksakan dari luar ke dalam (out side in). Inilah kepemimpinan dalam arti sebenarnya. Saya ingin mengutip sekali lagi sabda Nabi saw di atas Setiap kamu adalah pemimpin, dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Hadis ini tak hanya menegaskan pentingnya kepemimpinan, seperti umum dipahami, tetapi juga mengajarkan bahwa kepemimpinan harus tumbuh dari dalam, dengan latihan untuk bisa menjadi pemimin atas diri kita sendiri. Karena, percayalah seorang tidak akan bisa memimpin orang lain, apalagi memimpin bangsa, jika memimpin dirinya sendiri saja ia tak mampu. Selanjutnya, hadis ini mendorong kita agar kita tak hanya menjadi manajer, tetapi leader. Sekali lagi leader. Dalam perspektif Islam, leader jauah lebih dipenting dan diperlukan ketimbang hanya manajer, apalagi kalau hanya sebagai Dealer (makelar). 3. Kriteria Pemimpin Seorang pemimpin, dengan sendirinya, perlu memiliki syarat-syarat kepemimpinan yang kuat. Secara umum, seorang pemimpin, harus memiliki 4 sifat, yaitu: (1), memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas. Pemimpin tidak boleh bodoh. (QS. Al-Baqarah [2]: 269). (2), memiliki akhlak yang mulia dan keluhuran budi pekerti, (QS. Al-Qalam [68]: 4), karena pemimpin adalah teladan atau Role Model (QS. Al-Ahzab [33]: 21). (3), memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat (responsible dan accountable, amanah). (QS. Al-Nisa [4]: 58), dan (4), dapat mengkomunikasikan ide dan gagasan besarnya serta mampu mewujudkannya dalam kenyataan (QS. Al-Sya`ara’ [26]: 84). Bila merujuk kepada kepemimpinan Nabi Muhammad saw, seorang pemimpin harus memiliki 3 semangat dasar (mental kepemimpinan) seperti disebut oleh Allah SWT dalam ayat ini: Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS.At-Taubah ayat 128) . Menunjuk ayat di atas, maka ada 3 sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw, dan yang mesti dicontoh oleh setiap pemimpin. Pertama, `azizun `alaihi ma `anittum, yakni mampu merasakan kesulitan dan penderitaan orang lain. Dalam bahasa modern, sifat ini disebut “Sense of Crisis.”. Kedua, harishun `alaikum, yakni memiliki komitmen yang kuat untuk mensejahterakan umat. Dalam bahasa modern sifat ini ini disebut, “Sense of Achievement”. Ketiga, rauf dan rahim, yaitu memiliki cinta dan kasih sayang yang tinggi alias memiliki “Sense of Love”. Dikatakan, “If You Are Not Loving, You Are Not living.” 4. Memilih Pemimpin Dalam kaitan ini, saya ingin mengajak kaum muslim agar memahami dan melakukan 3 hal seperti berikut ini. Pertama, sebagai muslim kita perlu bersikap positif dan pro aktif, serta ikut serta mengambil bagian dalam proses pembangunan bangsa, termasuk dalam menentukan dan memilih pemimpin. Dalam pandangan Islam, memilih pemimpin merupakan bagian dari tanggung jawab social Islam (al-mas’uliyah al-ijtima`iyah al-Islamiyah) serta merupakan bagian tak terpisahkan dari kewajiban amar makruf dan nahi munkar. Kita tidak boleh melepaskan diri dari tanggung jawab ini demi terciptanya masyarakat adil dan makmur yang menjadi harapan dan ciata-cita bersama. Kedua, selanjutnya, sebagai Muslim, kita tentu harus memilih pemimpin yang sesuai dengan criteria dan petunjuk yang diajarkan oleh agama Islam. Perhatikan firman Allah ini: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alas an yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)..? (Q.S. An-Nisa ayat 144). Perhatikan juga ayat ini: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah ayat 51) Di zaman sekarang, banyak orang yg Menuhankan Hawa nafsu, Bukan hanya para pejabat, tetapi juga ada ulama yang menuhankan hawa nafsu, Maka ayat Allah akan dijual dengan harga yang murah. Dia akan cari pembenaran, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, demi untuk menyenangkan kepada siapa yang memberi. Dengan demikian Allah Akan sesatkan dia dengan kepintarannya dia sendiri, Dan Allah SWT akan meng menutup pendengarannya, menutup hatinya, dan Allah jadikan didalam pandangannya penyakit (yang benar dia lihat salah, dan salah dia liat benar) yang mestinya diluruskan, dia belokkan, sekalipun dia seorang ulama! Naudzu billahi min zaalik! Marilah kita cermati sikap kita. Jangan ummat islam salah dalam memilih pemimpin. Sebab, kesalahan memilih pemimpin akan berpengaruh besar terhadap nasib kita untuk satu periode politik ke depan. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk menapaki jalan yang benar dan memilih pemimpin yang amanah yang jujur, dan penuh keikhlasan, sehingga negeri ini betul-betul menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang jauh dari bencana karena pemimpinnya semakin dekat pada Allah Swt. Amien ya robbal ‘alamin. Wassalamualaikum Wr.Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar