HOME

Rabu, 22 Januari 2014

Husnudzdzann (Berperasangka Baik) adalah Ibadah Terindah

Dalam taushiyahnya al-Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan  mengutip Hadits Rasul Saw. yang bersabda:
 أذكروا محاسن موتاكم 
“Sebutkanlah hal-hal kebaikan pada orang-orang yang telah wafat.”

Jangan malah mencaci atau bahkan menggunjingi yang jelas pendahulu kita apalagi tokoh ummat adalah orang yang lebih terdahulu berkiprah untuk ummat. Sebelum kita
mau melaknat atau mencaci iblis sekalipun kita ini dapat apa? Walaupun jutaan kali, kata Habib Jindan.

Apalagi yang dicaci adalah orang mukmin muslim yang juga belum tentu kita lebih afdhal atau lebih selamat darinya. Akhlaq Rasul Saw. adalah Akhlaq al-Quran. Bagaimana kalau kita mau mencontoh Nabi? Dalam firman Allah Swt. kita baca bagaimana cermin seorang mukmin:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Wahai Rabb Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman (berada) dalam hati kami. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr ayat 10)

Jadi marilah kita jangan mencaci para ulama, kalau kita mau mencontoh Nabi Saw. Coba kita ingat saat Nabi Saw. dan para sahabatnya diembargo sampai makan dedaunan pohon dan dilempari kotoran disaat melakukan sholat, saat melewati satu jalan dilempari batu bahkan hampir dibunuh dikatain tukang sihir sampai disayembarakann siapa yang dapat memenggal kepala beliau Saw. akan dikasih seratus onta.

Wah kalau onta-onta itu diuangkan menjadi milyaran, tapi bagaimana sikap beliau Saw. ketikaFathu Makkah apa beliau Saw. mencincang-cincang orang tadi? Menyiksa orang yang menghina Islam dan Rasul tidak? Tapi bagaimanakah Nabi membalas mereka dengan berkata pada mereka saat Fathu Makkah:
ما تظنون أني فاعل بكم

“Apa yang kamu sangka atau kamu kira-kirakan tentang sesuatu yang akan aku lakukan pada kalian sekarang?”

Mereka menjawab:
أنت كربم ابن الكريم
“Engkau pemurah hati yang mulia dan keturunan para pemurah hati.”

Hehehe mana kok sekarang gak bilang Nabi Saw. tukang sihir atau gila atau pendusta? Begitulah kalau sudah posisi di bawah, tapi bagaimana Nabi Saw. mendengar jawaban tadi, apa Nabi Saw. malah menyiksa mereka atau mengungkitlah minimal apa yang mereka perbuat pada Nabi Saw.?Allahumma sholli ‘alaa Muhammad... tidak!!! Tidak!!! Akan tetapi Nabi Saw. berkata:
إذهبوا وأنتم الطلقاء
“Pergilah kalian... kalian semua bebas dan aman.” 

Allahumma sholli ‘alaa Muhammad...

Begitu indah akhlaq Nabi Saw. dan akhlaq seorang mukmin. Dan begitu indah ibadah berhusnudzdzann, gak capek tapi dapat pahala daripada hatinya gak saliim “Yauma laa yanfa'u maalun walaa banuun illaa man atalloha biqolbin saliim.”

Hati yang saliim atau selamat di sini bukannya hati yang selamat dari kangker kronis atau apa segala macam, itu mah mati kemudian sembuh hehehe. Nah kalau penyakit hati ini, di dunianya capek di akhirat apalagi. Semisal riya’ dan sum'ah, capeeeeeek kan? capek badan ini kalau ada ustadz sholatnya lama sampai sepuluh menit hehehe. Iri, dengki, capeeek gak? capeeek kan?

Jadi marilah bersihkan hati kita dari iri, dengki, hasud dll. itu penyakit dari hidup bahayanya sampai mati.
Semoga membawa berkah dan manfaat..Aamiin.

haritsridwan.blogspot.com

Mengenal Asal Muasal Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Mulanya adalah sebuah hadits dengan banyak redaksi, yang salah satunya diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi. Rasulullah Saw dikabarkan pernah bersabda; “inna bani israil iftaraqat ila itsnain wa sab’iina millatan, wa satafruqu ummatii ‘ala tsalaatsatin wa sab’iina millatan kulluha fin nar illa millatan wahidatan”, “Sesungguhnya bani israil terberai menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan”. Penasaran dengan pernyataan Nabi, para sahabat lantas bertanya, “man hiya, ya Rasulallah?”, “Siapa kelompok itu?”. Rasul pun menjawab, “man kaana ‘ala mitslii ma ana ‘alaihi wa ashabii”, yakni “orang-orang yang berada di suatu ‘jalur’ yang sama dengan apa yang dilampahi olehku dan sahabatku”.

Dan benar saja, din (agama) yang dibawa oleh Muhammad ibn Abdillah ini pun kemudian terbukti terpecah belah. Meskipun banyak pengamat yang berspekulasi bahwa motif mendasar dari perpecahan Islam adalah bukan semata-mata persoalan diniyah, dan mereka (para peneliti itu) menyebutkan alasan politis, tetapi tidak lama sepeninggal Nabi Saw, benih-benih perselisihan ini mulai muncul. Tidak berselang lama, aliran-aliran –sebagaimana disebut dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan al-Baihaqi di atas­­ sebagai millah– itu pun lahir. Kita sendiri kemudian mengenal nama-nama Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan masih banyak lagi.

Dalam risalahnya, al-ghunyah, As-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bahkan telah menandai sekaligus mengklasifikasi ke-73 jenis golongan tersebut. Belakangan kita diberi tahu, dari puluhan golongan yang ada, memang hanya satu yang “menang” (baca: benar). Dan sang pemenang tersebut lantas kita identifikasi dengan sebutan Ahlus sunnah wal jama’ah.

Dus, dari sini kemudian muncul persoalan yang sama sekali baru –masalah yang barangkali tidak atau belum terprediksi oleh ulama-ulama seperti Tasy Kubra Zadah, Al-Syahrastani, dan bahkan Al-Jailani (alias mereka yang telah merintis penulisan tentang aliran-aliran ideologis di dalam Islam).

Pada zaman kita, tentu saja kita amat menyadari kenyataan ini, bermunculan pola pikir dan pola keberagamaan yang boleh jadi tidak memiliki afiliasi dengan golongan-golongan yang selama ini dikenal. Kita misalnya, tidak lagi menemukan nama kelam kelompok Mu’tazilah; ia telah lama dikubur sejarah. Hari ini, faksi-faksi ideologis di dalam agama Islam kita temukan dengan perwajahan plus penamaan yang sama sekali lain, yang acapkali tidak serupa dengan yang pernah ditulis para ulama klasik.

Naasnya, kalau dulu pola ideologis setiap aliran langsung bisa dibedakan dari kubu Ahlus sunnah wal jama’ah, maka sekarang setiap kelompok –kemungkinan terdorong oleh keberadaan hadits di atas– mengklaim diri sebagai yang paling Sunny (penamaan bagi para pengikut Ahlus sunnah wal jama’ah). Alhasil, Aswaja (akronim dari Ahlus sunnah wal jama’ah) pun kini beralih menjadi raut muka yang kabur. Kepada kalangan awam, setiap satu dari aliran-aliran baru ini memperkenalkan diri sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah. Namun pada tempat dan waktu yang berbeda, kalangan awam yang sama menemukan kelompok yang lain, yang juga mengkhutbahkan diri sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah.

Berkaca kepada perkembangan konteks persoalan yang sedemikian rupa, menilik lagi, mendiskusikan kembali, dan menjernihkan makna Ahlus sunnah wal jama’ah menjadi amat signifikan –kalau bukan sangat mendesak. Dengan begini, semoga distorsi pemahaman atas ideologi Ahlus sunnah wal jama’ah segera bisa diakhiri.

Terma Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[i] Bahkan menurut catatan, kata ini belum dipakai pada kurun tabi’in (masa sesudah periode Sahabat) dan/atau tabi’ut tabi’in (masa sesudah periode tabi’in). Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) umpamanya, orang yang disebut-sebut sebagai pelopor madzhab Ahlus sunnah wal jama’ah itu, istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).

Memang jauh sebelum itu, kata-kata sunnah dan jama’ah sudah lazim dipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan bahkan sebagai sebutan bagi sebuah madzhab keyakinan. Ini misalnya terlihat dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wanasabu anfusahum ilassunnah  (mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq waddin wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).[ii] 

Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumiddinnya Al-Ghazali: idza uthliqa uthliqa ahlus sunnah fal muradu bihi al-asya’irah wal maturidiyah (jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi).[iii]   

Istilah Ahlus sunnah wal jama’ah memang tidak pernah secara eksplisit ditemukan di dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Tetapi meskipun begitu, menurut sejumlah keterangan, nama Aswaja digali dari hadits Nabi tentang 73 aliran. Bahwa pada hadits tersebut Nabi menyebut kata  “ma ana ‘alaihi wa ashabii”. Redaksi sunnah diturunkan dari potongan “ma ana ‘alaih” (jalur yang aku [Nabi] tempuh, yang juga biasa disebut dengan sunnah), dan jama’ah diambilkan dari “ashabii” (jalur yang ditempuh oleh sekumpulan [jama’ah] shabat).

Secara linguistik makna  Ahlus sunnah wal jama’ah dapat ditelusuri sebagai berikut:

1.      Ahl
Menurut Fairuzabadi dalam Al-Qamus Al-Muhith, kata Ahl berarti “pemeluk aliran”. Sedangkan menurut Ibrahim Anies dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, kata Ahl bermakna “pengikut madzhab”. Lebih jauh, dalam Dhurul Islam, Ahmad Amin menjelaskan bahwa kata Ahl merupakan badal nisbah sehingga jika dikaitkan dengan kata yang lain, misalnya kata As-sunnah, mempunyai arti orang yang berpaham Sunni alias As-Sunniyun.

2.      As-Sunnah
Dalam khazanah ilmu hadits, As-Sunnah biasanya disejajarkan pengertiannya dengan Al-Hadits. Tetapi makna harfiyah dari kata ini sebenarnya adalah At-Thariqah, atau jalan. Dengan demikian, masih menurut Amin dalam buku yang sama,  As-Sunnah  adalah jalan yang ditempuh oleh Sahabat Nabi dan Tabi’in.

3.      Al-Jama’ah
Menurut Ibrahim Anis, Al-Jama’ah berarti sekelompok orang yang memiliki tujuan. Dalam At-Tabshir fid Din wa Tamyizul Firqah An-Najiyah ‘anil Firaqil Halikin karya Al-Isfirayini ditemukan penjelasan bahwa apabila kata Al-Jama’ah dikaitkan dengan sekte-sekte Islam (Al-Madzhahib Al-Islamiyah), maka ia hanya berlaku di kalangan Ahlus Sunnah karena di kalangan Khawarij ataupun Rafidhah (Syi’ah) belum dikenal penggunaan kata Al-Jama’ah. Sementara itu, di kalangan Mu’tazilah tidak menerima Ijma’ sebagai suatu landasan hukum.[iv]

Dari eksplanasi linguistik terhadap terma Ahlus sunnah wal jama’ah di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Aswaja adalah “Madzhab yang merujuk kepada thariqah Nabi, yang kemudian dilembagakan (ditradisikan) oleh generasi Sahabat dan Tabi’in, dan yang merupakan pegangan bagi mayoritas umat Islam”.

Pemaknaan seperti ini memiliki kesejajaran dengan penjelasan para ulama’. Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menjelaskan bahwa pengertian As-Sunnah menurut Syara’ adalah “jalan atau cara yang diridhai dalam menempuh agama Allah sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasululullah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama, seperti para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum”. Ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang berbunyi; “‘alaikum bi sunnatii, wa sunnatil  khulafa’ir rasyidina min ba’diArtinya, “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al-Khulafaur Rasyidin, setelahku”. 

As-Sunnah, ditinjau dari sudut ‘Urf (pemakaian secara umum), masih menurut sang Hadhratus Syaikh, berarti “pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali”.[v]

Sementara itu, tidak berbeda dari pemaknaannya secara linguistik, Al-Jama’ah berarti kelompok mayoritas, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai As-Sawad Al-A’dzam. Pemaknaan seperti ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang salah satunya diriwayatkan oleh Ibnu Majah, beliau bersabda; “Inna ummati la tajtami’u ‘ala dhalalatin fa idza ra’aitumul ikhtilafa fa ‘alaikum bis sawadil a’zham”, artinya “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada keburukan, maka apabila kalian melihat gelagat perpecahan (pertentangan pendapat), berpeganglah pada as-sawad al-a’zham (kelompok mayoritas)”.[vi]

Dari sini dapat diketahui bahwa tidak semua kelompok keagamaan yang mengklaim diri sebagai  Ahlus sunnah wal jama’ah, adalah benar-benar Aswaja. Pola umum yang mendasari penyebutan Ahlus sunnah wal jama’ah setidaknya dapat kita catat di sini: “bersiteguh menjalankan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah, dengan menjadikan umat/kelompok terdahulu (salaf), yang terdiri dari sahabat, tabi’in dan para imam-imam pemuka (shudurul a’immah) atau yang kemudian disebut sebagai as-sawad al- A’dzam (golongan mayoritas) sebagai anutan”.

Barangkali tidak satu pun aliran-aliran keagamaan yang lahir dari rahim Islam yang tidak menisbatkan diri kepada Al-Quran dan Al-Sunnah. Khawarij mengaku sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, begitupun Murji’ah, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Tetapi terbukti, seperti ditegaskan oleh sejarah, aliran-aliran ini tumbang dikarenakan anomali dari dalam tubuh mereka sendiri. As-sawad al- A’dzam (mayoritas umat Islam), yang dijamin Nabi tidak akan menyeleweng itu, dan yang tentu saja tidak mungkin keluar dari arahan Al-Quran dan As-Sunnah, kemudian menegaskan pilihannya kepada paham Ahlus sunnah wal jama’ah.

Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.[vii] 

Prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham  Ahlus sunnah wal jama’ah adalah tawassuth, tawazzun wat ta’adul, dantasamuh; moderat, seimbang dan netral, serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat, selain bahwa Allah telah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad adalah ummat wasath, umat pertengahan yang adil (QS. Al-Baqarah : 143).

Prinsip dasar seperti inilah yang kemudian mengukuhkan pandangan Asy’ariyah dan Maturidiyah (paham-paham i’tiqadiyah yang dirintis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi) sebagai paham Ahlus sunnah wal jama’ah di bidang akidah. Tidak seperti pandangan Khawarij yang menerapkan nash-nash keagamaan secara tekstualistik ketat, dan bukan sama dengan Mu’tazilah yang cenderung mendewakan akal, paham Ahlus sunnah wal jama’ah (dalam hal ini direpresentasikan dalam Asy’ariyah dan Maturidiyah) menjembatani (bersikap moderat atas) keduanya.

Sebelum mengemukakan pandangan keagamaannya, Abu Hasan Al-Asy’ari adalah seorang mu’tazily (penganut Mu’tazilah). Sebelum kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi Saw, dimana dalam mimpi tersebut sang Nabi bersabda: “Hai Ali (nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Al-Asy’ari), aku tidak memerintahkanmu meninggalkan ilmu kalam, namun aku hanya menyuruhmu membela madzhab yang telah disampaikan dariku (al-madzahib al-marwiyyah ‘annii), karena itulah yang haq”. Dengan demikian, seperti Abu Hasan Al-Asy’ari sebenarnya hanya meneruskan madzhab-madzhab sebelumnya yang bersumber dari Nabi Saw.[viii] 

Tidak mengherankan apabila hampir keseluruhan imam-imam besar, seperti Al-Ghazali, Al-Mahalli, As-Suyuthi, dan lain-lain adalah sekaligus pembela Asy’ariyah. Dan berkat merekalah paham  Ahlus sunnah wal jama’ah ini sampai kepada kita sekarang.

Demikianlah pandangan Ahlus sunnah wal jama’ah pada ranah akidah. Di bidang furu’ (fiqh), ciri khas moderasi yang sama juga dicerminkan dengan baik oleh keempat imam mujtahid (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ibn Hanbal) berikut para ashhab mereka. As-sawad al-a’dzam kemudian melestarikan madzhab fiqh mereka hingga sampai kepada kita di zaman ini. Demikian pula di bidang tasawuf, moderasi ala Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi dipilih.

Di sinilah kenapa taqlid (mengikuti) kepada imam-imam tersebut di atas menjadi sangat urgens. Qaul-qaul para imam ini telah disepakati oleh as-sawad al- a’dzam (golongan mayoritas), dan apabila hal ini dikaitkan dengan penjelasan Nabi tentang sifat as-sawad al- a’dzam di atas, maka secara otomatis kelompok yang paling selamat adalah mereka yang mengikuti as-sawad al- a’dzam, alias mereka yang secara akidah berkaca kepada madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi, dan secara fiqh berkiblat kepada salah satu dari madzahib arba’ah (madzhab empat).

Barangkali karena hal inilah, orang-orang dengan kapasitas intelektual yang hebat, seperti Al-Ghazali dan As-Suyuthi, yang kecerdasannya sebetulnya telah mampu mengantarkan mereka menjadi Mujtahid (penggali hukum dari nash-nya langsung), tetap memilih untuk bermadzhab secara fiqh kepada Asy-Syafi’i dan secara akidah kepada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.

Pendeknya, dapat disimpulkan sekarang, bahwa paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah pandangan Islam yang secara akidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi, secara Fiqh mengikuti salah satu dari keempat Imam Madzhab yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ibnu Hanbal, dan secara tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi. Kelompok inilah yang dinilai oleh jumhur (mayoritas ulama’) sebagai mu’tabar (valid), yang melestarikan hingga sampai ke hadapan kita saat ini, laku salaful ummah yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah.

Paham Ahlus sunnah wal jama’ah sampai ke hadapan kita, umat muslim kontemporer, dengan susah payah. Sepanjang sejarah, ia dihadapkan kepada pelbagai jenis aliran, yang terbukti tidak dinukil dari as-sawad al-a’dzam.

Beberapa diantaranya muncul belakangan dengan mengumandangkan jargon yang amat menarik; kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah. Tetapi pada saat yang sama kelompok ini menolak sikap bermadzhab dan bahkan tidak jarang mengajarkan kebencian yang berlebihan kepada para imam madzhab.

Lepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, sikap keberagamaan kelompok Ahlus sunnah wal jama’ah sangat jelas; seperti diajarkan oleh Nabi, ketika terjadi pertikaian pendapat, maka yang harus dipegang adalah pandangan as-sawad al- a’dzam. Dalam pada itu, pandangan as-sawad al-a’dzam ini terejawantah dalam wujud tradisi bermadzhab, yang secara muttashil bersambung kepada tradisi (sunnah) para salaf, dengan bukti kodifikasi paham-paham keagamaan yang rapi seperti dalam wujud al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik) atau biasa disebut al-kutub as-shafra’ (kitab kuning).

Dalam pada itu, patut untuk dicatat di sini beberapa “peringatan” dari para ulama, diantaranya dalam sullamul ushul syarhu nihayatis suul, yang artinya; “Rasulullah Saw bersabda; ‘ikutilah as-sawad al-a’dzam (golongan mayoritas)’.

Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah punah dengan kematian para imam-imamnya kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti empat madzhab tersebut adalah mengikuti as-sawad al- a’dzam dan keluar dari empat mazhab tersebut, berarti keluar dari as-sawad al- a’dzam”.[ix] Pun As-Syaikh Amin Al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub menekankan, yang artinya; “dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (imam-imam madzhab) dan berkata: ‘saya beramal berdasarkan Al-Quran dan Hadits’, serta mengaku telah mampu memahami hukum-hukum Al-Quran dan Hadits, maka orang tersebut tidak bisa diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan, terutama pada masa sekarang ini di mana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisis”.

Pikirkan bahwa peringatan tersebut di atas dikemukan puluhan dan bahkan ratusan tahun yang lalu. Bagaimana dengan sekarang? Wallahu a’lam bis shawab.


Daftar Bacaan
·       Said Aqil Siradj, 2008, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda.
·    Harun Nasution, 2008, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres.
·        Asy-Syaikh Hasyim Asy’ari, 2006, Qanun Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,terjemah oleh Zainul Hakim, Jember: Darus Sholah.
·    Al-Habib Zainal Abidin Al-‘Alawi, tt, Al-Ajwibah Al-Ghaliyah fi ‘Aqidatil Firqah An-Najiyah, Jakarta: Darul ‘ilmi wad Da’wah.
·     Sahal Mahfudh, KH. M. A. (Peng.), 2007, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Surabaya: Khalista.



[i] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008, hlm. 6
[ii] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres, 2008, hlm. 65
[iii] Siradj, Op.Cit., hlm. 7
[iv] Siradj, Ibid, hlm. 5
[v] As-Syaikh Hasyim Asy’ari, Qanun Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,terjemah oleh Zainul Hakim, Jember: Darus Sholah, 2006.
[vi] Al-Habib Zainal Abidin Al-‘Alawi, Al-Ajwibah Al-Ghaliyah fi ‘Aqidatil Firqah An-Najiyah, Jakarta: Darul ‘ilmi wad Da’wah, tt, hlm. 40
[vii] Siradj, Op.Cit., hlm. 8
[viii] Siradj, Ibid, hlm. 6
[ix] Sahal Mahfudh (Peng.), Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Surabaya: Khalista, 2007, hlm. 235

MENGENAL PUTRA-PUTRI RASULULLAH SAW

Banyak riwayat yang berbeda tentang berapa jumlah putra-putri Rasulullah Saw. Ada yang mengatakan 6 atau 7 atau 11 dan 12. Di sini tidak akan menulis panjang lebar riwayat-riwayat tersebut, karena yang paling shahih adalah 7; 3 putra  dan 4 putri. Semua putra-putri Rasulullah Saw. terlahir dari Sayyidah Khadijah al-Kubra Ra. kecuali satu satu yaitu Sayyid Ibrohim.

Selengkapnya nama putra-putri Rasulullah Saw. Adalah:
·         Putra          : Ibrahim, Qasim dan Abdullah.
·         Putri          : Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan Fathimah.

Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang dilahirkan sebelum kenabian. Ibrahim tidak berusia panjang, dia hidup hanya sampai seusia bisa berjalan. Pendapat lain menyatakan beliau hanya sampai usia 2 tahun.

Menurut riwayat Mujahid, Ibrahim hanya hidup cuma tujuh hari saja, namun riwayat ini dianggap keliru oleh Imam Ghallaby (Imam Fadhl bin Ghassan al-Ghollaby al-Baghdady. Seorang Muhaddits,Muarrikh yang wafat pada tahun 245 H. Rujuk ke kitab Mu'jam al-Muallifiin juz 8 halaman 71 dan kitab Hadiyyat al-'Arifiin juz 1 halaman 181), beliau mengatakan bahwa yang benar adalah Ibrahim hidup selama 17 bulan.

Ibnu Faris berkata bahwa Ibrahim hidup sampai ia bisa naik kendaraan (onta atau kuda) dan meninggal sebelum bi'tsah.

Dalam kitab al-Mustadrak karya al-Faryabiy (Imam al-Faryaby adalah Ja'far bin Muhammad bin Hasan bin Mustafadh Abubakar al-Faryaby. Masa hidup beliau antara 207-301 H. Beliau seorangQadhi dan Muhaddits. Rujuk ke kitab al- A'laam juz 2 halaman 127 atau kitab Syadzaraat adz-Dzahab juz 2 halaman 235 atau kitab Tarikh Baghdad juz 7 halaman 199 atau Tadzkirat al-Huffadzjuz 2 halaman 692 dan Mu'jam al-Buldan juz 6 halaman 372). Beliau mengatakan tidak ada dalil atau bukti akurat bahwa Ibrahim meninggal dalam masa Islam. Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang meninggal dunia.

Sedangkan Zainab adalah putri Rasulullah Saw. yang paling besar diantara anak perempuan Rasulullah Saw. yang lain, dan ini tanpa ada ikhtilaf. Yang terjadi ikhtilaf  (kontrofesi) hanya pada apakah Zainab dilahirkan sebelum Qasim ataukah Qasim dulu baru Zainab. Menurut Ibnu Ishaq, Zainab lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. menemui masa Islam dan ikut berhijrah. Zainab wafat tahun  8 H di pangkuan suaminya (anak laki-laki dari bibi Zainab sendiri) yaitu Abul 'Ash Laqith, ada yang mengatakan namanya adalah Muhsyam bin Rabi' bin Abdul 'Uzza bin Abdu asy-Syams.

Zainab mempunyai putra bernama Ali tapi meninggal saat masih kecil dan belum baligh. Rasulullah Saw. pernah memangku Ali naik kendaraan pada saat Fathu Makkah. Kemudian lahir pula dari Zainab ini Umamah, dimana Rasulullah Saw. pernah membawanya sholat Shubuh dan berada di pundak Rasulullah Saw. Saat Rasulullah Saw. ruku', Umamah pun diletakkannya dan ketika bangun dari sujud untuk melanjutkan rakaat berikutnya Umamah pun diangkatnya kembali di pundak beliau Saw. (Lihat dalam Shahih Muslim Bab al-Masajid, hadits no. 42, Shahih Bukhori Kitab al-Adab Bab 18 hadits no. 5696, Abu Dawud Kitab Sholat Bab 165 hadits no. 918 dll). Zainab ini pada akhirnya dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Fathimah az-Zahra.

Putri Rasulullah Saw. yang bernama Ruqayyah lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. Menurut Zuber bin Bakr dan lainnya bahwa Ruqayyah adalah perempuan yang paling besar diantara putri-putri Rasulullah Saw. Pendapat ini dishahihkan oleh al-Jurjany. Namun yang paling shahih adalah sebagaimana mayoritas ulama mengatakan Zainab adalah anak perempuan Rasulullah Saw. yang paling besar dintara putri Rasulullah Saw. lainnya.

Ruqayyah menikah denga 'Utbah bin Abu Lahab dan adiknya Ummu Kultsum menikah dengan saudara 'Utbah sendiri yaitu 'Utaibah. Ketika turun ayat:

تبت يدا أبى لهب وتب

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa". (QS. al-Lahab ayat 1).

Abu Lahab berkata kepada kedua anaknya: “Kalian akan aku bunuh jika tidak berpisah dengan kedua anak Muhammad.”  Lalu keduanyapun menceraikan masing-masing istrinya dan belum sempat mendukhul/menjima'nya.

Utsman bin 'Affan lalu menikahi Ruqayyah di Makkah. Beliau bersama istrinya Ruqayyah ikut hijrah dua kali bersama Rasulullah Saw. ke bumi Habsyah (Afrika). Ruqayyah adalah salah seorang putri Rasulullah Saw.yang parasnya cantik. Ruqayyah wafat pada saat ayahanda tercintanya yaitu Rasulullah Saw. sedang berjihad dalam perang Badr. Dalam riwayat Ibnu Abbas, ketika Rasulullah Saw. ta'ziyah setelah selesai berjihad dan datang ke rumah putrinya, beliau Saw. bersabda:

الحمد لله دفن البنات من المكرمات

“Segala puji bagi Allah yang telah mengambil diantara wanita-wanita yang teramat mulia, yakni Ruqayyah". (HR ad-Daulaby dalaam Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdady juz 5 halaman 67 dan 7.291 atau kitab Tahdzib Tarikh Dimasyqy karya Ibnu Asakir juz 1 halaman 298 dan juz 7 halaman 279, Hilyat al-Auliya juz 5 halaman 209, dan Tafsir al-Qurthuby juz 17 halaman 82 dll).

Putri Kanjeng Rasulullah Saw. yang bernama Ummu Kultsum menikah dengan 'Utsman Bin 'Affan pada tahun 3 H. Ummu Kultsum wafat pada tahun 9 H. Rasulullah Saw. sendiri yang menjadi imam sholatnya. Sedangkan yang menggali kuburan adalah Ali bin Abi Thalib, Fadhl dan Usamah bin Zaid.

Dalam Shahih Bukhori dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. ketika berada di samping kuburan Ummu Kultsum, nampak kedua mata beliau menitikkan air mata. Lalu beliau berkata: "Siapakah diantara kalian yang bersedia meletakkan jasad putriku ke dalam liang lahat?"

Lalu Abu Thalhah berkata: "Saya Ya Rasulallah."

Kemudian Rasulullah Saw. pun memerintahkan Abu Thalhah untuk turun ke kuburan.

Sedangkan Fathimah az-Zahra al-Batul menurut Abu Umar dilahirkan tahun 41 setelah kelahiran Rasulullah Saw. Ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq bahwa beliau berkata:“Semua putra-putri Rasulullah Saw. dilahirkan sebelum nubuwwah kecuali Ibrahim.” Menurut Ibnu al-Jauzy bahwa Fathimah az-Zahra al-Batul dilahirkan 5 tahun sebelum nubuwwah.

Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa putri Rasulullah Saw. yang bernama Fathimah ini, disebut Fathimah (menjaga/menutupi/melepas) karena Allah Swt. telah menjaga Fathimah beserta keluarganya dari neraka kelak pada hari kiamat. (HR. Al-Hafidz d-Dimasyqiy). Sedangkan menurut riwayat al-Ghassany dan al-Khathib karena Allah Swt. menjaga Fathimah dan orang-orang yang mencintainya dari nerka. (Lihat Imam as-Suyuthi dalam Jam' al-Jawami' no. 7780 atau Kanz al-Umalno.. 34227 dan Tanziih asy-Syari'ah karya Ibnu al-'Iraqiy juz 1 halaman 413).

Sedangkan Fathimah disebut al-Batul (terputus/terpisah) karena Fathimah berbeda dengan wanita-wanita lain di masanya baik dalam soal agama, keutamaan dan keturununanya. Menurut pendapat lain karena Fathimah adalah wanita yang melepaskan hatinya dari dunia dan selalu asyik dengan Allah. Demikian menurut Ibnu al-Atsir.

Fathimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada tahun ke-2 Hijriyyah. Pendapat lain mengatakan setelah terjadi perang Uhud. Pendapat lainnya mengatakan Fathimah menikah dengan Sayidina Ali 4,5 bulan setelah Rasulullah Saw. menikahi 'Aisyah. Pendapat lain mengatakan terjadi di bulan Shafar tahun 2 H. Dan masih ada beberapa riwayat lain yang berbeda.

Saat menikah dengan Ali bin Abi Thalib, usia Fathimah az-Zahra adalah 15 tahun 5 bulan setengah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib usianya 21 tahun 5 bulan. Ada riwayat lain juga yang berbeda.

Menurut Abu Umar Fathimah dan Ummu Kultsum adalah paling utama-utamanya putri Rasulullah Saw. Fathimah adalah putri Rasulullah Saw. yang sangat dicintai oleh Rasulullah Saw. Jika Rasulullah Saw. hendak bepergian, beliau lebih dulu mencium putrinya Fathimah. Begitupun setelah pulang dari bepergian,Fathimah lah yang lebih dulu ditemui oleh Rasulullah Saw.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda: "Fathimah adalah bagian dariku. Barangsiapa memurkainya berarti telah memurkaiku." (HR. Bukhari no. 3417, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 3 halaman 158, as-Sunan al-Kubra Imam Baihaqiy juz 7 halaman 64 dll).

Dalam hadits lainnya Rasulullah Saw. berkata kepada putri tercintanya ini: “Fathimah apakah engkau ridho bahwa engkau adalah pemimpin dari seluruh wanita mukmin.” (HR. Muslim no. 98, Musykil al-Atsar karya ath-Thahawy juz 1 halaman 51, Ithaf as-Sadat al-Muttaqin karya az-Zabidy juz 6 halaman 244 dll).

Sedang dalam riwayat Ahmad Rasulullah Saw. bersabda: “Fathimah adalah paling utamanya wanita surga.” (HR. Ahmad juz 3 halaman 80 dan juz 5 halaman 391 dll).

Fathimah az-Zahra al-Batul wafat 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw. pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 11 H. Wafat dalam usia 29 tahun.

Pernikahan Fathimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib melahirkan Hasan, Husein dan Muhassin (ada yang mengatakan Muhsin). Muhassin meninggal saat masih kecil, kemudian Ummu Kultsum dan Zainab.

Rasulullah Saw. tidak punya keturunan selain dari putrinya Fathimah ini yang kemudian nasab Rasulullah Saw. yang mulia ini tersebar melalui Sayyidinaa Hasan dan Husein. Sehingga jika dinisbatkan kepada keduanya, maka muncul al-Hasany dan al-Husainy. Diantara generasi pertama dari Dzurriyyah Sayyidina Husein adalah keluarga Ishaq bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib al-Ishaqy. Yang kemudian disebut al-Husainy al-Ishaqy.

Ishaq ini adalah suami sayyidah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Terlahir dari sini dua orang yaitu Qasim dan Ummu Kultsum, namun tidak punya keturunan.

Kemudian Umar bin Khaththab menikahi Ummu Kultsum binti Fathimah mempunyai dua anak yang bernama Zaid dan Ruqayyah namun tidak punya keturunan. Kemudian Ummu Kultsum menikah lagi setelah wafatnya Umar bin Khaththab dengan 'Aun bin Ja'far.

Setelah 'Aun meninggal Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudaranya 'Aun sendiri yaitu Muhammad bin Ja'far. Lalu Muhammad bin Ja'far pun wafat. Setelah wafatnya Muhammad bin Ja'far,Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudara dari 'Aun dan Muhammad ini yaitu Abdullah bin Ja'far lalu dengan yang terakhir ini Ummu Kultsum wafat.

Dari ketiga saudara yang menikahi Ummu Kultsum ini tidak ada yang memberi keturunan, hanya satu dari Muhammad bin Ja'far yaitu anak perempuan kecil yang akhirnya tidak juga punya keturunan.

Setelah wafatnya Ummu Kultsum, maka Abdullah bin Ja'far pun menikahi saudara perempuan Ummu Kultsum yang bernama Zainab binti Fathimah dan mempunyai beberapa orang anak diantaranya adalah Ali dan Ummu Kultsum. Ummu Kultsum yang ini menikah dengan anak pamannya sendiri yang bernama Qasim bin Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib, dan punya beberapa anak diantaranya Fathimah yang kemudian dinikahi oleh Hamzah bin Abdullah bin Zuber bin Awwam yang juga punya keturunan.

Jadi di sini ada kesimpulan penting bahwa keturunan dari Abdullah bin Ja'far tersebar melalui Ali dan adiknya Ummu Kultsum yang dua-duanya ini terlahir dari rahim Zaenab binti Fathimah az-Zahra.

Dzurriyyah yang datang setelahnya dari keturunan ini biasa disebut dengan Ja'fary. Berarti jelas tak ada keraguan sedikitpun mengenai kemuliaan nasab ini. Bagaimanapun kemuliaan keluarga yang dinisbatkan kepada Ja'far ini tetap di bawah kemuliaan Dzurriyyah yang dinisbatkan kepada Sayyidina Hasan dan Husein. Laqab atau gelar Syarif (orang-orang mulia berdasar keturunan) ini juga diberikan pada golongan Abbas atau Abbasiyyun karena mereka berasal dari keluarga Bani Hasyim.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa golongan gelar Syarif diberikan kepada Abbasiyyin di Baghdad dan gelar  Alawy di mesir. Syarif dan Alawy maknanya sama yaitu mulia.

Wallahu 'a'lamu bisshawab, semoga bekah..!