Di sebuah masjid di perkampungan Mesir,
suatu sore. Seorang guru mengaji sedang mengajarkan murid-muridnya
membaca Al-Qur’an. Mereka duduk melingkar dan berkelompok. Tiba-tiba,
masuk seorang anak kecil yang ingin bergabung di lingkaran mereka.
Usianya kira-kira 9 tahun. Sebelum menempatkannya di kelompok, sang guru
ingin tahu kemampuannya. Dengan senyumnya yang lembut, ia bertanya pada
anak yang baru masuk itu, “Adakah surat yang kamu hapal dalam
Al-Qur’an?” “Ya”, jawab anak itu singkat.
“Kalau begitu, coba hafalkan salah satu surat dari Juz ‘Amma?” pinta
sang guru. Anak itu lalu menghafalkan beberapa surat, fasih dan benar.
Merasa anak tersebut punya kelebihan, guru itu bertanya lagi, “Apakah
kamu juga hapal surat Tabaraka (Al-Mulk)?” “Ya”, jawabnya lagi,
dan segera membacanya. Baik dan lancar. Guru itu pun terkagum-kagum
dengan kemampuan hapalan si anak, meskh usianya terlihat lebih belia
ketimbang murid-muridnya yang ada.
Dia pun coba bertanya lebih jauh, “Kamu
hafal surat An-Nahl?” Ternyata anak itu pun menghapalnya dengan sangat
lancar, sehingga kekagumannya semakin bertambah. Lalu dia pun mengujinya
dengan surat-surat yang lebih panjang, “Apa kamu hapal surat
Al-Baqarah?” anak itu kembali mengiyakan dan langsung membacanya tanpa
sedikit pun kesalahan. Semakin pennasaran, dan ia ingin menutup rasa
penasaran itu dengan pertanyaan terakhir, “Anakku, apakah kamu hapal
Al-Qur’an?” “Ya”, tuturnya polos.
Mendengar jawaban itu, seketika ia mengucap, “Subhanallah wa masyaallah, tabarakkallah.“
Di saat menjelang maghrib sebelum guru
tersebut membubarkan anak-anak mengajinya, secara khusus ia berpesan
kepada murid barunya, “Besok, kalau kamu datang kembali ke masjid ini,
tolong ajak juga orang tuamu. Aku ingin berkenalan dengannya.”
Esok harinya, anak itu kembali datang ke
masjid. Kali ini ia bersama ayahnya, seperti pesan si guru ngaji
kepadanya. Melihat ayah dari anak tersebut, sang guru bertambah
penasaran karena sosoknya yang sama sekali tidak memberi kesan alim,
terhormat dan pandai. Belum sempat dia bertanya, ayah si anak sudah
menyapa keheranannya terlebih dahulu, “Aku tahu, mungkin Anda tidak
percaya bahwa aku ini adalah ayah anak ini. Tapi rasa heran Anda akan
aku jawab, bahwa di belakang anak ini ada seorang ibu yang kekuatannya
sama dengan seribu laki-laki. Aku katakan pada Anda bahwa di rumah, aku
masih punya tiga anak lagi yang semuanya hapal Al-Qur’an. Anak
perempuanku yang terkecil berusia 4 tahun, dan sekarang sudah hapal juz
‘Amma.”
“Bagaimana ibunya bisa melakukan itu?” tanya si guru tanpa bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Ibu mereka, ketika anak-anak itu sudah
mulai bisa bicara, ia mulai pula membimbingnya menghapal Al-Qur’an, dan
selalu memotivasi mereka melakukan itu. Tak pernah berhenti, dan tak
pernah bosan. Dia selalu katakan pada mereka, “Siapa yang hapal lebih
dulu, dialah yang menentukan menu makan malam kita malam ini,” “Siapa
yang paling cepat mengulangi hapalannya, dialah yang berhak memilih
kemana kita berlibur pekan depan,” dan “Siapa yang paling dulu
mengkhatamkan hapalannya, dialah yang menentukan kemana kita jalan-jalan
pada liburan nanti.” Itulah yang selalu dilakukan ibunya, sehingga
terciptalah semangat bersaing dan berlomba di antara mereka untuk
memperbanyak dan mengulang-ulang hapalan Al-Qur’an mereka,” jelas si
ayah memuji istrinya.
Sebuah keluarga biasa, yang melahirkan anak-anak yang luar biasa, karena energi seorang ibu yang luar biasa.
Setiap kita, dan semua orang tua tentu
bercita-cita anak-anaknya menjadi generasi yang shalih, cerdas dan
membanggakan. Tetapi, tentu saja hal itu tidaklah mudah. Apalagi
membentuk anak-anak itu mencintai dan menghapal Al-Qur’an. Butuh
perjuangan. Perlu kekuatan. Mesti tekun dan bersabar melawan rasa letih
dan susah, tanpa kenal batas. Maka wajar jika si ayah mengatakan, “Di
belakang anak ini ada seorang ibu yang kekuatannya sama dengan seribu
laki-laki.”
Ya, perempuan yang telah melahirkan anak
itu memang begitu kuat dan perkasa. Sebab membuat permulaan yang baik
untuk kehidupan anak-anak, sekali lagi tidak mudah. Hanya orang-orang
yang punya kemauan dan motivasi yang bisa melakukannya. Dan tentu saja
modal pertamanya adalah keshalihan diri. Tidak ada yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar