....."MANFAAT SILATURRAHMI ".....
Silaturahmi merupakan
ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin
hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan
waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya
alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum
muslimin bersilaturahmi.
Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan
yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan
interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil
dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.
Silaturahim
termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam.
Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah Ta’ala telah menyeru
hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan
belas ayat di kitab-Nya yang mulia. Allah Ta’ala memperingatkan orang
yang memutuskannya dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya,
فَهَلْ
عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا
أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ
وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Artinya: “Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang
yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya
penglihatan mereka.” (QS Muhammad 47:22-23).
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1).
Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam ,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa
yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya
(dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali)
silaturahim.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atihaAz Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz, (16/330).
Abu Daud dalam Sunannya,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”
At Tirmidzi dalam Jami’nya, no. 1865, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 3663 dan Ahmad dalam Musnadnya sebanyak 10 riwayat.
MAKNA KOSA KATA HADITS
- الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
- بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).
FAIDAH HADITS
Hadits
yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan
silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun
penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan;
yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan
dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya :
Pertama.
Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam
umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang
bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
Kedua.
Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh
Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh
berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka
akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang
akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah
tidak). Inilah makna firman Allah Ta’ala ,
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar Ra’d:39).
Demikian
ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak
akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil.
Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya
perpanjangan (usia).
Dan yang ketiga.
Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji. Sehingga
seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al
Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/114)]
Demikian pula Syaikhul Islam berkomentar tentang permasalahan ini dengan pernyataan beliau :
Adapun firman Allah Ta’ala ,
وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلاَيُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ
…..
Arinya: “Dan sekali-kali tidak diperpanjang umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya…… ” (QS Fathir:11).
Bermakna
umur manusia tidak akan diperpanjang, dan tidak pula akan dikurangi.
Adapun maksud diperpanjangan dan pengurangan disini, bermakna dua hal,
yaitu :
Pertama.
Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur pendek. Maka
pengurangan umur di sini merupakan kekurangannya dibanding yang lainnya,
sebagaimana orang yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain
berumur pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih pendek
dibandingkan yang pertama sebagaimana perpanjangan merupakan tambahan
dibanding yang lainnya.
Kedua.
Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur yang telah
ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan
dari umur yang telah ditentukan.
Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”
Sebagian
orang berkata, yang dimaksud adalah barakah dalam umurnya dengan
beramal dengan waktu yang singkat sesuatu yang diamalkan oleh orang lain
dalam waktu yang lama. Mereka beralasan, karena rizki dan ajal telah
ditakdirkan dan ditentukan. Maka dikatakan kepada mereka, bahwa barakah
tadi bermakna tambahan dalam amal dan manfaat. Padahal hal tersebut juga
telah ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut meliputi semua hal.
Jawaban
yang benar ialah : Bahwa Allah telah menetapkan ajal hamba dalam
catatan malaikat. Apabila ia menyambung silaturahim, maka akan
ditambahkan pada apa yang tertulis dalam catatan malaikat tersebut. Jika
ia melakukan amalan yang menyebabkan umurnya berkurang, maka akan
dikurangkan dari apa yang telah tertulis tersebut. Pandangan ini
berdasarkan apa yang ada dalam Sunan Tirmidzi dan lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau bersabda,
أَنَّ
آدم لَمَّا طَلَبَ مِنَ اللهِ أَنْ يُرَيَهُ صُوْرَةَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ
ذُرِّيَتِهِ فَأَرَاهُ إِيَاهُمْ فَرَأَى فِيْهِمْ رَجُلاً لَهُ بَصِيْصٌ
فَقَالَ مَنْ هَذَا يَا رَبِّ؟ فَقَالَ ابْنُكَ دَاوُد فَقَالَ فَكَمْ
عُمْرُهُ؟ قَالََ أَرْبَعِوْنَ سَنَةً قَالَ وَكَمْ عُمْرِيْ ؟ قَالَ
أَلْفُ سَنَةٍ قَالَ فَقَدْ وَهَبْتُ لَهُ مِنْ عُمْرِي سِتِّينَ سَنَةً
فَكَتَبَ عَلَيْهِ كِتَابٌ وَشَهِدَتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ فَلَمَّا
حَضَرَتِ الْوَفَاةُ قَالَ قَدْ بَقِيَ مِنْ عُمْرِي سِتُُّوْنَ سَنَةً
قَالُوْا قَدْ وَهَبْتَهَا لإِبْنِكَ دَاوُدَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ
فَأَخْرَجُوْا الْكِتَابَ قَالَ النَّبِيِّ : فنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ
ذُرِّيَّتُهَُوَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ
Artinya: “Sesungguhnya
Adam ketika meminta kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya
wajah-wajah para nabi dari keturunannya, maka Allah pun
memperlihatkannya. Kemudian dia melihat seorang laki-laki yang memiliki
cahaya. Adam bertanya,”Ya Rabbi, siapakah ini?” Allah menjawab,”Anakmu,
Daud.” Lalu beliau bertanya lagi,”Berapa umurnya?” Dijawab,”Umurnya 40
tahun” , beliau bertanya lagi,”Berapa umur saya?” Dijawab,”Seribu
tahun”, Adam berkata,”Saya berikan enam puluh tahun umur saya
kepadanya.” Maka ditulis atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh
malaikat. Sehingga ketika akan meninggal dia berkata,”Umur saya masih
tersisa enam puluh tahun.” Malaikat menjawab,”Kamu telah memberikannya
kepada anakmu Daud.” Lalu Adam mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab
tadi. Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam bersabda, “Adam telah lupa, maka
anak keturunannya pun (punya sifat) lupa. Dan Adam telah mengingkari,
maka anak keturunannya pun (punya sifat) mengingkari.” ” [Riwayat
Tirmidzi dalam tafsir Surat Al A’raf dan dia berkata,”Hadits ini hasan
gharib dari jalan ini (11/196). Berkata Al Arnauth dalam Jami’ul Ushul
(2/141). Diriwayatkan oleh Al Hakim, dan beliau menshahihkannya serta
disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' No. 5209]
Dan
telah diriwayatkan, bahwa umur Adam disempurnakan. Demikian juga umur
Daud telah ditetapkan empat puluh tahun, kemudian ditambah*) enam puluh
tahun. Inilah makna perkataan Umar,”Ya Allah jika Engkau telah menulis,
bahwa saya termasuk orang yang sengsara, maka hapuslah dan tulis saya
sebagai orang yang berbahagia, karena Engkau menghapus apa yang Engkau
kehendaki dan menetapkan (apa yang Engkau kehendaki).” Allah telah
mengetahui apa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang belum
terjadi, dan seandainya terjadi bagaimana cara terjadinya. Allah
mengetahui apa yang telah ditulis bagi seorang hamba, dan apa yang akan
ditambahkan kepadanya. Sedangkan para malaikat tidak mengetahui, kecuali
apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah mengetahui segala
sesuatu sebelum dan sesudah terjadinya. Oleh karena itu para ulama
mengatakan, bahwa penghapusan dan penetapan itu terjadi pada catatan
malaikat. Adapun ilmu Allah, maka tidak akan berbeda dan tidak ada yang
baru yang belum diketahuinya. Sehingga tidak ada penghapusan dan
penetapan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (14/490)]
[*)
Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari
“dijadikannya”, karena Adam as telah memberikan kepada Daud 60 tahun
dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelaslah makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturrahim.”
Karena Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal seseorang, kemudian berfirman (yang artinya),“Apabila dia menyambungkan silaturahmi, maka tambah sekian dan sekian.”
Dan malaikat tidak mengetahui, apakah akan ditambahkan ataukah tidak.
Sedangkan Allah mengetahui apa yang akan terjadi. Sehingga apabila
datang waktunya, maka tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (8/517)]
Ibnu Hajar Rahimahullah menjawab permasalahan ini, ”Berkata Ibnu Tin, ‘Secara lahiriah, hadits ini bertentangan dengan firman Allah,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka
apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf:34).
Untuk
mancari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua
jalan. Pertama, tambahan (umur) yang dimaksud yaitu kinayah dari usia
yang diberi berkah, karena mendapat taufiq (kemudahan) menjalankan
ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang bermanfaat di akhirat,
serta menjaga waktunya dari kesia-siaan. Hal ini seperti sabda Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam
, bahwa umur umat ini lebih pendek dibandingkan umur umat-umat yang
terdahulu. Tetapi kemudian Allah menganugerahi lailatul qadar (malam
qadar).
Kesimpulannya :
Silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan taufiq (kemudahan)
menjalankan ketaatan dan menjaga dari kemaksiatan. Sehingga namanya akan
tetap dikenang. Seolah-olah seseorang itu tidak pernah mati. Dan di
antara hal yang bisa mendatangkan taufiq, yaitu ilmu yang bermanfaat
bagi orang setelahnya, shadaqah jariyah dan anak keturunan yang shalih.
Kedua,
tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Hal itu berkaitan dengan
ilmu malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang
ditunjukkan oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan
ilmu Allah Ta’ala . Umpamanya dikatakan kepada malaikat, umur si fulan
100 tahun jika ia menyambung silaturahmi, dan 60 tahun jika ia
memutuskannya.
Dalam ilmu
Allah telah diketahui, bahwa fulan tersebut akan menyambung atau
memutuskan silaturahim, maka yang ada dalam ilmu Allah tidak akan maju
atau mundur, sedangkan yang ada dalam ilmu malaikat itulah yang mungkin
bisa bertambah atau berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh firman
Allah,
يَمْحُو اللهُ مَايَشآءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya: “Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisiNya-lah tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS Ar Ra’d:39).
Jadi,
yang dimaksud dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu ialah
yang ada dalam ilmu malaikat. Adapun yang ada di Lauh Mahfuzh itu,
merupakan ilmu Allah yang tidak akan ada penghapusan (perubahan)
selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al qadha al mubram (takdir atau putusan yang pasti). Sedangkan yang pertama (ilmu malaikat) disebut al qadha al mu’allaq (takdir atau putusan yang masih menggantung).
Yang pertama tampak lebih cocok dengan lafadz hadits di atas. Karena al atsar
ialah sesuatu yang mengikuti yang lain. Apabila diakhirkan, maka
menjadi baik untuk membawanya kepada keharuman nama setelah
meninggalnya. Ath Thibbi berkata, ”Jalan yang pertama lebih jelas…” [Fathul Bari, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Fir Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429)]
Berdasarkan nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama Rahimahumullah
mempunyai tiga pendapat dalam menafsirkan penambahan umur. Pendapat
pertama, barakah. Pendapat kedua, perpanjangan hakiki atau sesungguhnya.
Pendapat ketiga, keharuman nama setelah meninggalnya.
Akhirnya,
inti yang wajib kita jadikan jalan keluar dari perselisihan makna
memanjangkan umur baik bermakna hakikat ataupun majaz (kiasan), yaitu
memperpanjang umur tersebut dengan menggunakan dan menghabiskannya untuk
mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun seseorang yang panjang umurnya
tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk sejelek-jelek orang,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahu’anhu.
Keutamaan inipun dikuatkan dengan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhuShallallahu’alaihi Wasallam, yang berbunyi, dari Rasulullah
صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيْدُ الْعُمُرَ
Artinya: “Silaturahim bisa menambah umur.” [Dikeluarkan oleh Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab dan dihasankan oleh Al Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]
Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam banyak hadits. Diantaranya ialah :
Pertama.
Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman.
Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairh, beliau bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.” (Mutafaqun ‘alaihi).
Kedua.
Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala .
Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ,
خَلَقَ
اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ فَقَالَتْ هَذَا
مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ
أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ
Artinya: “Allah
menciptakan makhlukNya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah
rahim dan berkata,”Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari
pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung
orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?” Dia
menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun ‘alaihi).
Ibnu Abi Jamrah berkata,“Kata ‘Allah menyambung’, adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah kepadanya.”
Sedangkan
Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian beliau,“Para
ulama berkata, ‘hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat. Sehingga,
makna kata ‘Allah menyambung’ adalah ungkapan dari kasih-sayang dan
rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329]
Ketiga.
Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam,
Artinya: “Dari
Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah,
beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam
syurga.” Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab,“Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahmi.”” (Diriwayatkan oleh Jama’ah).
Silaturahmi
adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah
Ta’ala, serta tanda takutnya seorang hamba kepada Allah. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan
mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Arra’d 13:21).
Demikianlah
sebagian keutamaan silaturahim. Tentunya tidak seorangpun dari kita
yang ingin melewatkan keutamaan ini. Apalagi bila melihat akibat buruk
dan adzab pedih yang Allah Ta’ala siapkan bagi orang yang memutus tali
silaturahim. Karenanya, orang-orang shalih dari pendahulu umat ini
membiasakan diri menyambung silaturahim, walaupun sulit sarana
komunikasi pada jaman mereka. Sedangkan pada zaman sekarang ini, dengan
tercukupinya sarana transportasi dan komunikasi, semestinya membuat kita
lebih aktif melakukan silaturahim. Kemudahan yang Allah Ta’ala berikan
kepada kita tersebut, hendaknya dipergunakan untuk silaturahim. Mungkin
salah seorang dari kita melakukan perjalanan ke negeri yang jauh untuk
wisata, akan tetapi dia merasa berat untuk mengunjungi salah seorang
kerabatnya yang masih satu kota dengannya -kalau tidak saya katakan satu
daerah dengannya- padahal paling tidak hubungan tersebut dapat
dilakukan dengan hanya mengucapkan salam. Apa beratnya mempergunakan
telepon untuk menghubungi salah satu kerabat kita dan mengucapkan salam
kepadanya?
Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
بَلُوْا أَرحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ
Artinya: “Sambunglah keluargamu meskipun dengan salam.”
[Riwayat Al Bazzar, Ath Thabrani dan Al Baihaqi. Berkata Al Munawi
dalam Faidhul Qadir, “Berkata Al-Bukhari,’Semua jalannya dha’if, akan
tetapi saling menguatkan (3/207)’.” Al Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami' no. 2838]
Mungkin
ada yang mengatakan, di antara penyebab terputusnya silaturahmi ialah
banyaknya kesibukan manusia pada hari ini dan keluasan wilayah. Tetapi
orang yang memperhatikan keadaan semisal Abu Bakar dan Umar Al Faruq Radhiyallahu’anhuma
. Pada masa pemerintahannya, meskipun banyak beban yang harus dipikul
di pundak mereka dan belum lengkapnya sarana transformasi dan komunikasi
modern, akan tetapi mereka tetap memiliki waktu untuk mengunjungi
kerabatnya dan membantu tetangganya. Sedangkan diri kita sering
mengunjugi dan bercengkrama dengan sahabat-sahabat, tetapi tidak pernah
memasukkan ke dalam agenda kegiatan untuk berkunjung ke salah satu
kerabat, meskipun satu kali dalam sebulan.
Tampaknya
sebab utama yang menghalangi kita bersilaturahim, karena buruknya
pengaturan dan manajemen waktu. Atau karena kita kurang begitu mengerti
besarnya dosa memutus silaturahim. Kemudian dengan kesibukan yang
berlebihan dalam kehidupan dunia,. hingga kita mendapati seseorang
bekerja pada pagi hari. Setelah itu menyibukkan diri dengan pekerjaan
lain pada sisa harinya. Padahal sudah berkecukupan dalam hal rizki.
Lantas, mengabaikan hak-hak keluarga, anak-anak, kedua orang tua dan
kerabatnya.
Maka
sepatutnyalah engkau, wahai saudaraku muslim. Hendaklah bersemangat
memanjangkan umurmu dengan bersilaturahim. Ketahuilah, barangsiapa yang
menyambungnya, niscaya Allah Ta’ala akan berhubungan dengannya. Dan
barangsiapa memutuskannya, maka Allah pun akan memutuskan hubungan
dengannya. [Untuk tambahan, lihat kitab Al Adab Asy Syar’iyyah Wal Minah Al Mur’iyyah, oleh Ibnu Muflih, Juz 1 dan kitab Shilaturrahim Fadluha Ahkamuha Itsmu Qathi’iha, oleh Syaikh Muhammad Thabl dan Ibrahim Muhammad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar