Di dalam hadis riwayat Baihaqy, Malaikat Jibril as., menyampaikan
pesan Allah SWT tentang beberapa kunci mensikapi hidup di dunia kepada
Rasulullah SAW agar diteruskan kepada seluruh ummat Rasulullah SAW
(termasuk kita sekalian):
Malaikat Jibril AS
mendatangiku seraya berkata: “Wahai Muhammad! “Hiduplah kamu (di dunia
ini) sehendakmu, tetapi ingat bahwa kamu akan mati; cintailah apa yang
kamu sukai, tetapi ingat bahwa kamu akan meninggalkannya, dan
berbuatlah sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapatkan balasan
dari apa yang telah kamu perbuat..”
Pesan pertama, (“’isy ma syi’ta fainnaka mayyitun);
“Hiduplah kamu sesukamu, tetpai ingat bahwa kamu akan mati”,
mengandung pesan kunci bahwa kematian merupakan kata kunci dan tolak
ukur kaum Muslim dalam mensikapi hidupnya. Kematian merupakan
rambu-rambu kita dalam memanfaatkan seluruh umur kita di kehidupan
dunia ini. Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan sarana hidup
yang dinamakan “keduniaan” ; sifat dunia adalah “mata al-ghurur” (kesenangan yang menipu).
Tipu dayanya cukup halus dan memukau, hingga sering manusia dibuatnya
terlena karenanya. Dalam perspektif ini, dunia bagaikan jaring
laba-laba yang setiap saat menjerat siapapun yang melewatinya.
Faktanya, berapa banyak manusia yang berhasil dijadikan tawanan oleh
dunia; asyik-maksyuk di dalamnya hingga mengabaikan tugasnya menghamba
kepada Allah SWT.
Di dalam banyak tempat (ayat) Al-Qur’an
meningatkan kita agar “berlomba-lomba” mengerjakan amal shalih, dengan
tujuan utama mengingatkan kita agar hidup kita tidak sia-sia:
Di dalam QS. al-Baqarah: 148 Allah berfirman:
“Maka
berlomba-lombalah kalian dalam mengerjakan amal shalih. Di tempat
manapun kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkanmu (di hari kiamat)”
Orang
mukmin akan menyambut firman Allah tersebut dengan bersegera, karena
mereka sadar bahwa akan kembali menghadap Allah SWT. Ciri utama seorang
mukmin adalah; senantiasa semangat dan rajin mengerjakan amal shalih,
dan bersamaan dengan itu para mukmin itu juga senantiasa khawatir,
cemas jikalau amal shalih yang telah dilakukannya ternyata tidak
diterima disisi Allah SWT., Karena itu, di dalam harap dan cemas itu,
para mukmin senantiasa berusaha untuk bisa mengerjakan amal shalih
sebanyak-banyaknya.
Allah menyampaikan ciri mukmin ini di dalam QS. Al-Mukmin: 61:
“Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati
yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
pada Tuhan mereka; mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
Meneruskan ayat-ayat Allah tersebut,
Rasulullah SAW mengingatkan kita agar bersegera mengerjakan amal
shalih, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, karena di
jaman akhir (yang insyaAllah kita alami ini) orang akan dikepung oleh
berbagai rintangan agar semakin jauh dari tuntunan Ilahi.
Rasulillah SAW mengingatkan kita sebagai berikut:
“Bersegeralah
kalian mengerjakan amal shalih, sebab akan datang fitnah-fitnah
(besar) bagaikan gelap-gulitanya malam, dimana akan terjadi seseorang
yang pada pagi harinya masih menjadi mukmin, sore harinya sudah menjadi
kafir; dan sore harinya seseorang masih menjadi seorang mukmin, pagi
harinya sudah menjadi kafir; orang-orang itu rela menjual agamanya
dengan harga yang sangat murah.” (HR. Muslim)
Analisis
dan prediksi Rasulullah SAW di dalam hadis di atas, mengisyaratkan,
bahwa seorang mukmin jangan sampai terlambat mengerjakan ibadah dan amal
shalih serta kebajikan-kebajikan lainnya, sehingga perjalanan hidupnya
dipenuhi dengan kesibukan beramal dan beribadah kepada Allah SWT,
karena takkan ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esuk
hari; hari-hari senantiasa berubah; masa selalu silih berganti,
sementara berbagai fitnah bermunculan tiada terbendung.
Oleh
karena dahsyatnya fitnah-fitnah tersebut, sampai-sampai sangat sulit
untuk diketahui hakikatnya, ibarat berada di dalam suatu malam yang
pekat, malam yang gelap gulita, yang menyebabkan orang sangat mudah
tersesat dan tidak tahu arah; Inilah benang merah prediksi Rasulullah
SAW; bahwa di pagi hari seseorang masih dalam keadaan mukmin, tiba-tiba
di sore harinya sudah menjadi kafir (penentang kebenaran); dan
sebaliknya, di sore harinya seseorang masih menjadi mukmin, tiba-tiba
di pagi harinya sudah menjadi kafir.
Dalam kondisi
seperti inilah, analisis Rasulullah kemudian, menyatakan bahwa sangat
dimungkinkan seseorang rela menjual agamanya dengan harga yang sangat
murah; sangat mudah ia menyatakan halal terhadap perkara-perkara yang
telah diharamkan oleh Allah SWT; menyatakan haram terhadap
perkara-perkara yang telah dihalalkan Allah SWT, gara-gara hanya ingin
meraup keuntungan duniawi yang fana (tidak langgeng) ini.
Pesan kedua; “Cintai apapun yang kamu suka, tetapi ingat bahwa semuanya akan berpisah denganmu”.
Rasulullah
saw mengajarkan kepada kita agar jangan sampai terpedaya oleh
keduniaan dalam bentuk apapun (harta, anak, isteri/suami,
jabatan/pangkat, ilmu, dan sebagainya), sebab ketika kita terjebak oleh
tipu muslihat keduniaan, maka bisa dipastikan kita akan kehilangan
kepekaan hati; tidak bisa merasakan cahaya Allah SWT; hingga hati kita
gelap dan nyaris tertutup dari hidayah serta pertolongan Allah SWT.
Disaat
kita terlena oleh tipu muslihat keduniaan, sebenarnya di saat itu
juga kita sudah melepas ikatan suci dengan cahaya Allah SWT. Karena
itulah Rasul SAW mengajarkan kiat kepada kita agar harta dunia itu
takkan membelenggu kita; beliau sampaikan agar kita memanfaatkan harta
dunia itu sebagai sarana meraih cahaya Allah SWT.
Banyak
model yang telah dicontohkan oleh para pemilik dunia dikalangan
sahabat Rasul SAW.; mereka rela meninggalkan kecintaannya pada dunia
yang telah lama dikuasai demi menuju rahman dan rahim Allah SWT. Salah
satunya adalah Abu Thalhah. Beliau adalah orang Anshar yang paling
banyak hartanya. Dan harta yang paling dicintainya adalah sebuah kebun
indah yang terletak berhadapan dengan Masjid Nabawi. Kebun indah itu
bernama Bairuha’. Rasulullah sendiri biasa masuk ke kebun itu dan
menyempatkan minum airnya yang sangat jernih.
Suatu kali turun wahyu kepada Rasulullah SAW ayat 92 surat Ali ‘Imran:
“Kamu
sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum
kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Setelah
Abu Thalhah mendengar khabar akan turunnya wahyu tersebut, ia langsung
menemui Rasulullah SAW, kemudian berkata kepada beliau; “wahai
Rasulullah! Aku telah mendengar wahyu Allah yang engkau terima;
sementara aku memiliki harta kekayaan yang sangat aku cintai, yakni
sebuah kebun indah yang biasa engkau singgah disana; kebun Bairuha’.
Saat ini kebun itu aku serahkan kepada engkau dengan harapan bisa
menjadi sedekah yang aku harapkan kebajikannya dan sebagai simpanan di
sisi Allah SWT. Maka taruhlah wahai Rasulullah, sesuai yang
diberitahukan Allah kepada engkau.”
Sebagai mukmin, sudah
barang tentu kita mengetahui bahwa tujuan hidup ini adalah Allah SWT;
bukan harta, bukan tahta, dan bukan yang lainnya. Harta dunia semata
alat; semata sarana. Ia hanya menyelamatkan, jika digunakan di jalan
Allah SWT; Tetapi manakala hanya dinikmati untuk kemewahan dan
kesombongan, ia hanya akan membuat diri lalai dan selebihnya
mencelakakan.
Namun demikian, meski kita telah mengetahui,
faktanya sering hati ini tidak mau menghayati; bahwa harta dunia itu
adalah hanya alat semata. Harta dunia yang tampak langsung di depan
mata, sungguh sangat menggoda hati; meski tahu harta itu fana dan akan
abadi bila diinfakkan, hati ini masih sangat suka menyimpannya dan
terasa berat untuk mengeluarkannya di jalan Allah SWT.
Perasaan
terlalu mencintai harta seperti itu hendaknya jangan dibiarkan
membelenggu jiwa. Meski dunia ini terasa indah, hendaknya selalu
diyakinkan bahwa kita akan meninggalkan dunia ini; dan semua harta yang
kita miliki akan kita tinggalkan. Hanya iman dan amal shalih yang
menjadi bekal menghadap Allah. Kepada Allahlah kita akan kembali.
Keindahan
dunia juga dirasakan oleh Abu Thalhah. Kalau beliau menganggap harta
terindah dan paling dicintai adalah kebun Bairuha’, kita tentu juga
memilikinya. Tentu saja dalam bentuk yang lain (misalnya; perhiasan
emas, rumah, kendaraan, ladang, tanah, atau lainnya).
Andai
kita bersama-sama melakukan sebuah simulasi untuk menjatuhkan pilihan;
mana yang lebih kita cintai; “harta dunia kita” atau “Allah kah”?,
kira-kira saja kita sangat berat untuk menjatuhkan pilihan itu. Andai
kita menuliskan salah satu harta yang paling kita cintai pada secarik
kertas; lalu kita tuliskan lagi tujuan hidup kita, yakni Allah SWT pada
secarik kertas yang lain; kemudian masing-masing kita genggam
erat-erat; lalu kita bertanya kepada diri sendiri; mana yang harus kita
pertahankan dan mana yang harus kita lepas. Hati kita nampaknya akan
terasa berat melepas salah satunya; mau melepas diri dari Allah SWT
tidak akan mungkin, karena kita sangat sadar takkan melepas keimanan
hanya demi membela harta dunia yang fana; namun akan melepas harta yang
paling kita cintai rasanya juga sayang; karena selagi hidup di dunia
kita akan membutuhkannya.
Meski paparan singkat ini hanya
bayangan simulasi; hati kita sudah merasakan betapa berat memilih
salah satu dari keduanya. Mampukah kita membuat keputusan gagah seperti
Abu Thalhah ? Rasanya dengan jujur kita mengaku, bahwa hati ini masih
sangat mencintai harta dunia kita. Abu Thalhah memang mencintai
kebunnya, namun demi meraih kebajikan yang sempurna disisi Allah SWT, ia
berani melepas harta yang paling dicintainya dan lebih berpegang
kepada Allah SWT.
Pesan ketiga; “Berbuatlah kamu sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapat balasannya. “
“Hari ini adalah hari amal tanpa hisab, besok hari hisab dan tak lagi menerima amal” kata Rasulullah SAW.
Rasulullah
SAW., telah membuat analisis tentang keadaan umat manusia di akhir
jaman; beliau sampaikan bahwa di jaman itu manusia sudah tak lagi peduli
kepada hukum dan aturan agama; Manusia banyak adalah manusia yang
senang berbuat jahat, menentang kebenaran, bahkan bangga melakukan
maksiat di depan umum.
Diantara sekian banyak orang, lanjut
Rasulullah, hanya sedikit sekali orang yang masih mau mengikuti ajaran
Allah dan Rasul-Nya; saking sedikitnya hingga orang-orang itu mendapat
gelar “al-ghuraba” (manusia langka, manusia unik dan aneh);
disebabkan kebanyakan orang sudah tak lagi peduli kepada norma dan
ajaran agama, sementara orang-orang ini justru semakin taat kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Kepada orang-orang langka ini, Rasul
menyampaikan jaminan akan kepastian beroleh keuntungan dan kebahagiaan
hakiki; (thuba li al-ghuraba).
Orang-orang unik ini bisa dikenali dari perilakunya, antara lain :
1.
Mereka tetap baik dan berbuat kebajikan di tengah-tengah orang-orang
brengsek (orang-orang jahat dan pekerjaannya hanya berbuat kejahatan); “alladzina yushlihuna idza fasad an-nas.
2.
Mereka tetap menghidupkan sunnah-sunnah Rasulillah SAW dengan penuh
hikmat di tengah-tengah manusia banyak yang telah melalaikan bahkan
membunuh sunnah-sunnah Rasul tersebut; “alladzina yuhyuna sunnaty ba’da amataha an-nas.
Dalam
bahasan lain Rasulullah mengilustrasikan keadaan orang-orang beriman
di jaman akhir seperti orang yang tengah memegang bara api di tangan,
sementara ia berada di tengah-tengah samudra yang tiada bertepi. Andai
bara api di lepas, ia akan kehilangan arah karena hanya bara api itu
yang bisa menyinari sekelilingnya; sementara; sementara andai bara api
tetap di pegang, ia akan berjuang mati-matian melawan panas yang tiada
terperi.
Hanya
orang-orang yang beriman kokoh saja yang mampu bertahan dalam kondisi
apapun; karena mereka tahu bahwa kebahagiaan hakiki telah menunggunya
di surga Allah yang abadi.
Selagi
kita masih di dunia; memiliki kesempatan untuk memilih, mari kita
berbenah, menata hidup dengan lebih baik lagi, agar kita bisa
memastikan diri, bahwa seluruh amal yang kita lakukan; semuanya
bernilai shalih disisi Allah SWT.
Wallahu 'a'lamu bisshawab, Asallahu an yanfaana..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar