Latar Belakang
Diskursus perempuan dikaitkan dengan wacana keagamaan menarik untuk
dikaji mengingat adanya asumsi bahwa pemahaman agama dalam hal ini teks-teks
hadits dianggap telah menjadi pemicu berbagai ketidakadilan terhadap perempuan.
Oleh karenanya, mengkaji bagaimana Nabi memposisikan perempuan dalam
hadits-hadits adalah sangat penting, mengingat hadits sebagai sumber rujukan
kedua dalam memahami ajaran Islam (Muhammad ̳Ajjaj alKhatib, 1989: 19,27; Syuhudi Ismail,
1995: 27)
Secara spesifik, realitas dogmatisasi terhadap teks-teks hadits perempuan
dan pemahamannya tercover dalam berbagai bentuk pemahaman tekstual yang
mengakar kuat dalam budaya patriarkhi dan menjadikan perempuan terdiskriminasi,
serta menjadi obyek dan sasaran ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dogmatisasi pemahaman terhadap nash alQur‘an dan hadits telah melegitimasi
kemapanan budaya patriarkhi yang mengakibatkan banyak kaum perempuan tersubordinasi(dianggap
lebih rendah), termarjinalisasi(pemiskinan ekonomi), sebagai korban pelabelan
negatif (stereotipe), korban kekerasan (violence), korban eksploitasi seks
maupun tenaga (kaum buruh dan pembantu rumah tangga) dan menghadapi double
burden(beban ganda) (Masour Fakih, 2003:1223)Begitu banyak kaum perempuan yang
tereduksi hak-haknya sebagai manusia yang mandiri, secara material maupun
immaterial. Perempuan dianggap tidak setara dengan laki-lakidan tidak memiliki
kesempatan yang sama sebagaimana laki-laki (Syafiq Hasyim, 2001:139-238)
Fatima Mernissi dilahirkan pada tahun 1940 di Maroko dan mendapatkan
pendidikan pertamanya di sekolah tradisional yang didirikan oleh kaum
nasionalis Maroko.Pada masa remaja dia aktif dalam gerakan menentang
kolonialime Perancis. Buku terkenalnya yang telah menempatkannya sejajar
dengan penulis-penulis perempuan lain adalah Beyond the Viel :
Malle-Female Dynamics in Modern Moslem Society. Bukunya yang sudah terbit
di Indonesia adalah Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, Bandung, 1994, Perempuan
Di dalam Islam, Pustaka, 1994 dan Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan,
Yogyakarta, 1994.
Banyak fakta yang menarik dalam kehidupan Mernissi yang sedikit banyak
ada kaitannya dengan perkembangan intelektualitasnya, terutama sikapnya
terhadap tradisi Islam dalam hubungannya kehidupan Perempuan.Hal ini secara
eksplisit dijelaskan sendiri oleh Mernissi dalam beberapa bagian tertentu dari
tulisannya. Dalam Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan, Mernissi menulis:
“Aku dilahirkan di salah satu harem terakhir di kota Fez pada tahun 1940,
sesaat sebelum dinding-dinding institusi yang terhormat itu mulai retak atas
desakan modernisme.
Sedangkan dalam tulisannya Perempuan dalam Islam Mernissi mengungkapkan
secara detail empat fase dari kehidupannya ; masa kanak-kanak, masa ramaja,
masa dewasa dan perkenalannya dengan peradaban Barat. Tentang masa kanak-kanak
Menissi menulis:
Selama masa
kanak-kanak saya memiliki hubungan yang sangat ambivalen dengan al-Qur’an
di sekolah al-Qur’an, kami diajar dengan cara yang keras. Namun Islam bagi
pikiran kanak-kanak saya, hanya keindahan rekaan versi nenek saya yang buta
huruf.Lalla Yasmina yang telah membuka pintu menuju sebuah agama yang
puitis.Bersama Lalla Yasmina kami bisa bermain kata-kata dengan bebas.
Sedangkan di sekolah al-Qur’an, jika kami salah melafalkan, paling sedikit kami
akan menerima hukuman. Lalla Fatiha (sang guru) begitu terobsesi dengan
pelafalan.Sikap ganda terhadap teks-teks suci ini melekat pada diri saya selama
bertahun-tahun.
Pada masa remaja Mernissi mulai berkenalan dengan sunnah, yang menurut
pengakuannya, sempat membuat dia terluka.
“Di sekolah
menengah, pelajaran sejarah agama ditandai dengan pengenalan dengan sunnah.
Beberapa hadits yang bersumber dari kitab Bukhari, dikisahkan oleh guru kepada
kami, membuat hati saya terluka. Rasulullah mengatakan bahwa “anjing, keledai
dan Perempuan, akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan
mereka,menyela diantara orang yang shalat dan kiblat”. Perasaan saya amat
terguncang mendengar hadits semacam ini, …dan saya berkata pada diri saya
sendiri : bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan hadits semacam itu, yang
demikian melukai diri saya?
Sikap emosional serta kecenderungan memberontak terhadap apa yang
terdapat dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits, kemudian terbawa juga ketika ia
menjadi dewasa.
“Bisakah
seorang Perempuan menjadi pemimpin kaum muslimin?”, tanya saya kepada pedagang
sayur langganan saya, yang seperti halnya kebanyakan pedagang sayuran di Maroko
merupakan barometer opini masyarakat. “Naudzubillah min dzalik”!, dia berseru
dengan kaget … seorang langganan yang lain kemudian menyerang saya dengan
sebuah hadits yang diyakininya mematikan: “suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada seorang Perempuan tidak akan memperoleh kemakmuran”. Kami semua
terdiam kalah dan marah, mendadak saya merasakan kebutuhan yang mendesak untuk
mengumpulkan informasi mengenai hadits tadi
Perkenalan Mernissi dengan peradaban Barat Modern, semakin mempertajam
sikap kritis Mernissi terhadap tradisi keagamaan di dunai Islam, terutama
menyangkut perlakuan terhadap Perempuan.
“… jutaan Perempuan
Yahudi dan Kristen Sekarang ini menikmati privilese ganda: hak asasi penuh di
satu pihak dan akses kepada tradisi keagamaan inspirasional di lain pihak
sebagai seorang Perempuan Arab yang secara khusus terpesona oleh cara-cara
dimana orang di dunia modern mengelola dan mengintegrasikan masa lampau mereka,
saya senantiasa memperoleh kejutan ketika mengunjungi Eropa dan Amerika. Mereka
menjual diri mereka sebagai masyarakat supra modern, dan saya menemukan betapa
Yahudi dan Kristennya iklim budaya mereka sesungguhnya”.
Dari berbagai fakta tersebut setidak-tidaknya dapat ditarik kesan bahwa
pemikiran Mernissi sangat dipengaruhi oleh realitas perlakuan terhadap Perempuan,
sebagai fefleksi dari norma agama yang muncul dari dua tradisi yang sangat
berbeda; tradisi Arab Islam dan tradisi Barat Kristen. Kedua tradisi keagamaan
itu telah memberi warna terhadap dua peradaban besar yang satu sama lain sangat
kontras perkembangannya. Peradaban Barat Modern yang dilatar belakangi tradisi
Kristen dan peradaban Arab Islam yang terkebelakang sebagai perwujudan
norma-norma agama Islam.
Perempuan
Dalam Pandangan Islam
Diskursus Perempuan dalam Islam mendapat perhatian yang sangat
serius.Peran dan fungsi Perempuan menjadi pokok perhatiannnya. Pada dasarnya Perempuan
dan laki-laki dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum. Uraian
ini sangat jelas dalam surah An-Nisa 1:
“Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada
keduanya lahir menyebarlah banyak pria dan Perempuan.”
Sebuah hadits
mengatakan:
“Semua manusia adalah sama, bagaikan gigi-gigi sisir. Tidak ada
tuntutan kemuliaan seorang Arab atas seorang Ajam (bukan Arab), atau seorang
kulit putih atas kulit hitam atau seorang pria atas seorang Perempuan, Hanya
ketaqwaan seseorang yang menjadi pilihan Allah.”
Akan tetapi
dalam perspektif yang lain Perempuan didudukan sebagai obyek yang harus
dipimpin laki-laki: "Lelaki adalah pimpinan bagi Perempuan"
(An-Nisa 34) bukan berarti Perempuan tak mendapat kedudukan yang layak. Perempuan
dalam batasan tertentu malah menjadi sebuah tonggak negara, dengan peran
sertanya dalam mendidik keturunannya.
Perempuan juga menempati diri sebagai sang pengayom bagi siapa saja,
sehingga dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Ungkapan ini sangat
populer lewat sebuah hadits yang mengatakan, "surga di bawah telapak kaki
ibu". Dalam sistem Islam, Perempuan ditempatkan dalam 3 kategori besar:
1. Perempuan sebagai Anggota Umat Beriman
Perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari umat mendapat perlakuan
yang sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamallah,
tiada kelebihan laki-laki atas Perempuan. Dengan demikian Perempuan mempunyai
hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan (ishlah) dalam masyarakat. Memang
dalam batasan tertentu menurut Mazhab Hambali, seorang Perempuan yang kafir
tidak disiksa seberat laki-laki kafir.Bahkan dalam sejarah banyak ditemukan
bahwa Perempuan bagi umat memberikan makna dan simbol kesucian dengan
pengabdiannya yang luar biasa.
Dengan
peranannya tersebut Perempuan menjadi sangat mempunyai arti penting dalam
dimensi spiritual.Di samping dalam lingkup spiritual, Perempuan juga mempunyai
peran penting dalam hal pendidikan anak.
2. Perempuan Sebagai Anggota Keluarga
Kedudukan Perempuan di keluarga dalam Islam ditempatkan sebagai tempat
terhormat. Bahkan Perempuan di rumah tangganya menjadi pilar utama yang akan
menopang keberlangsungan keluarga. Kehormatan Perempuan ini tercermin dalam
ungkapan hadits: Seseorang bertanya kepada Nabi, pekerjaan apakah yang sangat
disenangi Tuhan. Ia berkata: menunaikan shalat tepat pada waktunya. Orang itu
melanjutkan: kemudian apa ?Nabi bersabda, bersikap murahlah kepada ayah dan
ibumu.
Bahkan dalam ungkapan hadits yang lain, yang paling dihormati di dalam
keluarga adalah ibu, baru kemudian ayah. Sebelum kehadiran Islam, seperti yang
telah diungkap Qur'an kelahiran seorang Perempuan adalah sebuah aib bahkan jika
lahir hidup akan dikubur hidup-hidup. Ini tertuang dalam ayat berikut:
"Apabila seorang di antara mereka menerima berita dengan kelahiran
anak perempuan, hitamlah muka mereka dan sangat marah.Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya.
Mereka bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ia akan menanggung kehinaan
ataukah akan mengguburnya ke dalam tanah." (QS 16: 58-59)
Dengan
mempertimbangkan kejadian ini, maka Al-quran memberikan jaminan persamaan akan
hak hidup perempuan:
"Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya,
karena dosa apakah dia dibunuh ... maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang
telah dikerjakannya" (QS. 31:8-9).Dalam pandangan Islam, kedudukan Perempuan di keluarga
memberikan makna penjagaan syariat. Dialah pendidik dan penanam utama syariat
sedari dini kepada anggota keluarga yang lain. Lebih dari itu, seorang Perempuanakan
menjadi peletak kepemimpinan dan syura dalam keluarga. Dari sinilah arti
penting Perempuan dalam proses pendidikan dan sosialisasi dalam keluarga.
3. Perempuan Sebagai Anggota Dalam Masyarakat
Peranan Perempuan dalam masyarakat merupakan pokok persoalan.Di mana
kecenderungan penilaian bahwa normativitas Islam menghambat ruang gerak Perempuan
dalam masyarakat.Hal ini didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi Perempuan
adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak terjadi kemudharatan. Pandangan
yang paling umum adalah bahwa keluarnya Perempuan dari rumah untuk maksud
tertentu dihukumi dengan subhat, antara diperbolehkan dan tidak. Dalam bahasan
fiqh ibadah, jika subhat lebih baik ditinggalkan.Sedangkan dalam fiqh muamallah
bisa dijalankan dengan rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan
Qardhawy,[4] bahwa keluarnya Perempuan dari rumah untuk keperluan tertentu
adalah diperbolehkan. Bahkan menahan Perempuan di dalam rumah hanyalah bentuk
perkecualian dalam jangka waktutertentu sebagai bentuk penghukuman. Hal ini
tercermin dalam :
"Maka kurunglah mereka (Perempuan-Perempuan itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya atau sampai Alloh memberi jalan yang lain
kepadanya" (QS. 4:15)
Peranan Perempuan dalam masyarakat tidak terpisahkan dari keluarga.
Perubahan sosial di masyarakat tidak akan berlangsung jika tidak terdapat
gerakan dari keluarga. Keterlibatan Perempuan dalam masyarakat menurut Darleney
May adalah; sebagai agen intelektual, sebagai agen ketrampilan masyarakat, sebagai
agen di bidang politik, sebagai agen di bidang militer, sebagai agen di bidang
hukum dan di bidang ekonomi.
Perempuan Islam Dalam Sejarah
Kiprah Perempuan dalam sejarah menorehkan hasil yang gemilang.Perempuan
difahami telah memberikan andil yang besar dalam bidang intelektual klasik.
Banyak ditemukan guru-guru agama, perawi hadits, bahkan sufiPerempuan. Siti
Aisyah dikenal sebagai pembawa hadist yang sangat berarti, bahkan para shabahat
nabi belajar padanya. Dalam sejarah juga diketemukan sufi Rabi'ah Al-Adalawiyah
yang dalam maqam sufi dikenal sebagai Perempuan yang sangat berpengaruh di
jamannya dengan segala kontroversi yang menyelimutinya.
Disamping berperan dalam agen intelektual dan kemuliaan, Perempuan memegang
peranan dalam proses da'wah Islam. Perempuan seperti Asma bin Abu Bakar
merupakan contoh bagaimana seorang Perempuan dapat memberikan andil yang sangat
berarti untuk menyusun strategi hijrah nabi. Karya-karya besar Perempuan ini
menarik para ulama Islam untuk menulis biografi tentang peranan Perempuan dalam
jamannya.Tidak kurang dari 35 ulama besar menulis tentang Perempuan dan segala
perjuangannya. Ulama seperti Ibnu Hajar al-Asqalani (852/1449) menulis kamus
biografis pertama tentang semua orang muslim terkemuka yang meninggal pada satu
abad tertentu Islam -abad ke delapan Hijrah/Keempat belas Masehi.
Jumlah dan proporsi Perempuan yang terekam ke dalam tulisan ulama
meliputi para sahabat. Sahabat merujuk kepada gender laki-laki dan shahabiah
merujuk kepada gender perempuan. Artian secara umum generasi shahabat adalah
orang-orang yang hidup semasa nabi yang mengakui, menerima Islam dan menerima
segala konsekuensinya, baik usia ketika itu sudah dewasa dan kecil. Sahabat
dalam pandangan kaum Sunni menempati kedudukan mulia, sedangkan dalam pandangan
kaum Syi'ah para sahabat menyimpang setelah Nabi wafat.Dari perspektif ini
terlihat bahwa sejarah memberikan peranan yang besar.Peranan besar Perempuan
terlihat pertama kali ketika Siti Khadijah (istri nabi pertama) sebagai
pengikut pertama Muhammad, bukan dari laki-laki-laki.Kajian ini telah ditelaah
oleh Ibnu Sa'ad secara panjang lebar, sepanjang dengan kajian tentang kajian
sahabat.
Al-Qur'an sebagai sumber yang paling otoritatif dalam Islam, memberikan
uraian yang panjang lebar, bahkan salah satu suratnya merujuk langsung kepada Perempuan
(surat An-Nisa'). Banyak ditemukan bahwa Perempuan menjadi sebab turutnya ayat,
baik dalam kapasitas peringatan ataupun dalam kapasitas memberikan kejelasan.
Ayat tentang Perempuan yang berkait dengan peringatan adalah tentang ayat Hijab
dalam Al-Ahzab dan An-Nur, dan ayat tentang tuntutan harta istri nabi,
sedangkan ayat tentang sanjungan dan kejelasan adalah ayat yang memberikan
keterangan tentang kesucian Aisyah yang sempat didiamkan Nabi dalam surat.
Meski kita lihat setting utama yang digunakan adalah istri-istri nabi.
Bahkan dalam keluarga Nabi sendiri, anak Perempuan menjadi sangat
dominan. Nabi pernah mempunyai anak laki-laki (Ibrahim bin Muhammad) akan
tetapi meninggal dunia ketika masih remaja. Sedangkan anak yang perempuan
sebanyak 4 orang, dan yang paling utama adalah Fatimah Zahrah. Bahkan dari
generasi Fatimah ini diklaim sebagai generasi yang akan melahirkan keturunan
yang paling baik dan ma'shum.
Masalah ini dapat dilihat dengan kemunculan mazhab politik Syi'ah yang
kemudian menjadi mazhab Aqidah. Bahkan dalam sejarah varian dari mazhan Syi'ah
ini mengambil nama Fatimah az-Zahra sebagai varian dari Syiah. Lebih jauh
mazhab ini mampu mendirikan sebuah pemerintahan Fatimiyah Isma'liyyah di Mesir.
Karya Perempuan dalam sejarah Islam adalah keterlibatannya dalam proses
ba'iah (sumpah setia). Sumpah setia dari 2 Perempuan Madinah untuk masuk Islam
dan setia kepada Nabi tercermin dalam Bai'ah An-Nisa'i (bai'ah Perempuan).Bukan
hanya itu saja, dalam bai'ah kedua jumlah Perempuan mencapai 449 Perempuan
menyatakan diri masuk Islam dan menerima kerasulan Muhammad, yang kemudian
dikenal dengan bai'ah harbi (perang).Bai'ah itu sendiri dimaknai sebagai bentuk
kesepakatan atau kontrak sosial.Bai'ah masih satu rumpun dengan kata al-ba'i
atau jual beli.Bai'ah ini dilaksanakan di bukit Aqobah, antara Nabi dan
orang-orang Madinah.Dalam perspektif yang khusus bai'ah sebagai tonggak
berdirinya masyarakat Islam atau sebagai embrio negara Islam Madinah.
Kedudukan Perempuan mendapat posisi yang menakjubkan dalam sejarah, orang
yang pertama kali mendapat syahadah adalah Perempuan bukan pria.Orang itu
adalah Sumayyah binti Khubbat, yang meninggal di Makkah dibunuh oleh Abu
Jahl.Bahkan banyak Perempuan menjadi perantaraan turunnya peristiwa mukjizati,
maupun ramalan masa mendatang.
Hal lain yang cukup mengedepan adalah ke-terlibatan Perempuan dalam
beberapa pertempuran yang menentukan. Baik dalam masa Nabi maupun dalam masa
khilafah Rasyidin. Yang cukup kontroversial adalah keterlibatan Siti Aisyah
dalam perang Unta (Jamal) melawan Ali bin Abu Thalib karena masalah pengusutan
pembunuhan Utsman yang tidak tuntas.
Di samping analisis di sekitar shahabat dan keluarga Nabi, Perempuan di
jaman tabi'in.Perempuan seperti 'Amra binti 'Abdur Rahman, sebagai seorang ahli
fiqih yang mempunyai hubungan yang dekat dengan Aisyah.Terdapat pula Hafshah
binti Sirin, sebagai seorang ahli hadist generasi kedua dari Basrah, yang
terkenal dengan ketaqwaan dan kezahidannya.Ia digambarkan oleh Ibnu Jauzi
digambarkan sebagai Perempuan yang shaleh, ia melakukan shalat sepanjang waktu.
Terdapat pula Aisyah binti Thalhah --cucu Abu Bakar-- yang dalam sejarah cukup
mengandung kontroversi, dari kepandaiannya sebagai penyampai hadist maupun
tentang kecantikannya.
Analisis tentang peran Perempuan dalam sejarah dalam zaman Abbasiyah
melebar ke dalam masalah politik kenegaraan. Ummu Salamah -istri dari Abu
Al-Abbas sang pendiri Abbasiyah-- mempunyai pengaruh yang besar kepada
suaminya, bahkan Abu al-Abbas selalu meminta pertimbangannya dalam segala hal.
Kemenakan perempuan Harun al-Rasyid - Zubaidah mampu mempengaruhi untuk mendapatkan hak-hak
istimewa. Pengaruh Zubaidah sendiri sampai masa pemerintahan khalifah
al-Makmun.
Dalam kekhilafahan Abbasiyah, puncak peran Perempuan dalam masalah
politik adalah dengan tampilnya Syajarat Ad-Durr yang sempat memerintah di
Mesir selama beberapa bulan.Kapasitas Durr sebelumnya adalah sebagai seorang
selir Sultan Ayyubiyah yakni Malik Ash-Shalih Najmuddin. Kemampuan Durr tidak
hanya dalam masalah pemerintahan, ia juga terlibat dalam perang melawan pasukan
Salib. Dia memerintah karena kondisi yang sangat darurat, yang mengharuskan ia
mengambil kekuasaan ketika kondisi pemerintahan kacau, dan ancaman eksternal
sangat kuat. Hal demikian juga dialami oleh Ghaziyah, yang memerintah
mengatasnamakan putrnya yang masih kecil setelah suaminya meninggal.Ia
dilukiskan oleh Adz-Dzahabi sebagai orang yang shaleh dan sopan. Kekayaan
tampilnya Perempuan dalam politik banyak di warnai dalam sejarah dinasti Mamluk
dan Seljuk.
Kepemimpinan Perempuan : Feminis dan
Syari'ah
Kepemimpinan Perempuan merupakan persoalan pelik yang sampai saat ini
terus menjadi perbincangan. Lingkup perbincangan tersebut bermula dari tatanan
syari'ah yang memberikan barrier berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan
beruntung suatu masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada Perempuan. (Hr.
Bukhari)
Interprestasi akan Hadits sebagai sumber kedua setelah Quran biasanya
diletakkan kepada persoalan Sanad dan Perawinya. Artinya apakah secara matan
(isi) suatu hadits tersebut bertentangan atau tidak dengan Qur'an, atau dapat
difahami dengan logika Islam sebagai agama yang fitrah atau tidak. Kemudian
interprestasi yang lain adalah berdasarkan kekuatan sanad ataupun pembawanya.
Dengan menggunakan kekuatan sanad akan melahirkan jenis hadist dari tingkat
Shahih sampai dloif, mursal bahkan palsu.
Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih sebab periwayatannya
dari Abu Bakrah yang kemudian dikutip Bukhari. Sedangkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari termasuk ke dalam hadist yang shahih.Sedangkan dari
pertimbangan matan, ada yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara
kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum Perempuan
menjadi kepala pemerintahan. Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa
hadits tersebut berkaitan dengan diangkatnya seorang Perempuan Persia menjadi
pemimpin meski disekitarnya terdapat banyak calon pemimpin yang memadai, hanya
karena hukum kerajaan menghendaki demikian.
Mayoritas ulama ushul melihat bahwa pertimbangan keumuman lafazh lebih
mengedepan bukan pada kekhususan sebab.Meski demikian Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
tidak semata-semata itu, hal ini setidaknya melihat dampak dari pemahaman yang
demikian dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti Khawarij yang berlebihan
dalam agama.Golongan Khawarij dalam menafisrkan ayat maupun hadits secara
tekstual, sehingga menjadikan agama sangat berat, bahkan sampai mengkafirkan
perbedaan pendapat.
Jumhur ulama sepakat akan haramnya Perempuan memegang kekuasan dalam
al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana Perempuan
berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan.Sebab dalam matan
hadits tersebut terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah Kamu
Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam.Sehingga
jumhur ulama memberikan pengharaman pada Perempuan.Hampir ulama klasik
memandang perlu untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah adalah haq
laki-laki, bukan Perempuan.Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi,
Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.
Akan tetapi
dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang tertentu, yang tidak menyeluruh
dalam masyarakat, Perempuan berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan,
pendidikan bahkan menjadi menteri.Meski demikian perkembangan pemikiran tentang
kepemimpinan merupakan hak setiap insan.Pandangan kaum modernis terutama yang
diwakili oleh kalangan feminis. Fatimah Mernisi seorang feminis muslim asal
Aljazair bahkan secara radikal menyerang pemahaman ulama yang telah membuat
fiqh yang diskriminasi kepada perempuan. Banyak hak perempuan dikebiri.Dan
shabahat Abu Bakrah dalam hal ini menjadi tertuduh terbesar.Sebab dialah yang
mengingatkan Khalifah Ali setelah perang Jamal dengan Aisyah. Abu Bakrah
sendiri menurut Mernisi adalah Shahabat yang pernah dihukum oleh Umar bin Khattab
karena keraguan dalam memberikan saksi. Sehingga menurut Fatimah Mernisi hadits
yang diriwayatkan Abu Bakrah adalah palsu dan tidak bisa dijadikan
hujjah.Tampaknya Fatimah Mernisi menjadi sangat emosional, sehingga ketika Ali
membenarkan hadits tersebut tak gubris.Bahkan Ali difahami juga turut berbohong
demi kepentingan politiknya. Lebih lanjut Hasan bin Ali juga mendukung hadits
tersebut, dan disebutnya Hasan bin Ali ada kepentingan karena kekuasaannya akan
diambil Muawiyah. Tidak bolehnya Perempuan duduk dalam kepemimpinan politik
adalah produk ulama yang bias dengan patriakhi.
Kesimpulan
Ulama klasik
memandang perlu untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah
adalah haq
laki-laki, bukan Perempuan sehingga dalam Peradaban Barat Modern yang
dilatar belakangi tradisi Kristen berbeda dengan peradaban Arab
Islam yang terkebelakang sebagai perwujudan norma-norma agama Islam. Namun
dalam pandangan umat islam, Perempuan mendapat perlakuan yang sama persis
dengan laki-laki. dalam urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki
atas Perempuan dan juga Perempuan mendapat tempat yang paling dihormati di
dalam keluarga adalah ibu, baru kemudian ayah dalam hadits tertulis dengan
jelas. Perempuan juga difahami telah memberikan andil yang besar dalam bidang
intelektual klasik. Banyak ditemukan guru-guru agama, perawi hadits, bahkan
sufi Perempuan.
Share it : haritsridwan.blogspot.com
Rujukan :
- Al Qur’an terjemah Kementrian Agama 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar