KERUSAKAN DI MUKA BUMI AKIBAT ULAH TANGAN MANUSIA
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia,
supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Tafsir Ayat
Allah Swt.
berfirman: Zhahara al-fasâd fî al-barr wa al-bahr (Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab, kata al-fasâd
kebalikan dari al-shalâh (kebaikan).1 Segala sesuatu yang
tidak terkagori sebagai kebaikan dapat dimasukkan ke dalam al-fasâd.
Berkaitan
dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para mufassir berusaha
mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Biqa’i menjelaskannya sebagai
berkurangnya semua yang bermanfaat bagi makhluk.2 Menurut al-Baghawi dan
al-Khazin, fasâd adalah kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman.3
Al-Nasafi memberikan contoh berupa terjadinya paceklik; minimnya hujan, hasil
panen dalam pertanian, dan keuntungan dalam perdagangan; terjadinya kematian
pada manusia dan hewan; banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam; dan
dicabutnya berkah dari segala sesuatu.4
Selain
keadaan tersebut, fasâd juga digambarkan az-Zamakhsyari dan al-Alusi
dengan kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat, dan banyaknya
madarat.5
Jika
dicermati, penjelasan beberapa mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian
yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan
hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana ditegaskan
asy-Syaukani, at-ta’rîf (bentuk ma’rifah) pada kata al-fasâd
menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Artinya, kata tersebut
mencakup semua jenis kerusakan yang ada di daratan maupun di lautan.6
Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moral,
alam, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.
Demikian
pula kata al-barr dan kata al-bahr. Huruf al-alif wa al-lâm pada
kedua kata itu memberikan makna li al-jins7 sehingga menunjukkan makna
semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian
bahwa telah tampak dengan jelas semua jenis kerusakan di seluruh muka bumi,
baik di daratan maupun lautan.
Berbagai
kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Pangkal penyebabnya disebutkan dalam
firman Allah Swt. berikutnya: bimâ kasabat aydî al-nâs (disebabkan oleh
perbuatan tangan manusia). Menurut ayat ini, pangkal penyebab semua kerusakan
di seluruh muka bumi itu adalah ulah perbuatan manusia. Dijelaskan oleh para
mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Jazairi
menafsirkannya: bi zhulmihim wa kufrihim wa fisqihim wa fujûrihim (karena
kezaliman, kekufuran, kefasikan dan kejahatan mereka). Al-Baghawi menyebutnya bi
syu’ dzunûbihim karena keburukan dosa-dosa mereka).8 Tidak jauh berbeda,
Ibnu Katsir memaknainya bi sabab al-ma’âshî (karena
kemaksiatan-kemaksiatan).9 Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan bi
sabab ma’âshîhim wa dzunûbihim (karena perbuatan maksiat dan dosa
mereka).10
Meskipun
dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi, al-Nasafi, al-Khazin, dan
al-Shabuni.11 Menurut al-Alusi, kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah
Swt.:
وَمَا
أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Musibah apa
saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).
Dengan
demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh
kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap
ketentuan syariah-Nya.
Kemudian
Allah Swt. berfirman: liyudzîqahum ba’dha al-ladzî ‘amilû (supaya Allah
menimpakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka). Ibnu
Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa frasa ini memberikan pengertian: Agar
Dia menimpakan kepada mereka hukuman atas sebagian perbuatan dan kemaksiatan
yang mereka lakukan.12 Al-Baghawi juga mengatakan bahwa itu adalah
hukuman atas sebagian dosa yang telah mereka kerjakan.13 Pendek kata, kerusakan
yang timbul akibat kemaksiatan dan kemungkaran itu merupakan hukuman bagi
pelakunya di dunia sebelum mereka mendapat hukuman di akhirat.14
Patut
dicatat, hukuman di dunia itu, betapa pun dahsyatnya, sesungguhnya masih baru
sebagian. Sebab, kata ba’dha al-ladzî ‘amilû menunjukkan, azab
yang mereka rasakan saat ini belum seluruhnya. Azab secara keseluruhan akan
ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.15 Meski begitu, kerusakan yang
kasatmata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk bertobat. Allah Swt.
berfirman: la’allahum yarji’ûna (agar mereka kembali [ke jalan yang
benar]).
Kata yarji’ûna
berarti bertobat. Demikian penafsiran banyak mufassir, seperti al-Hasan
sebagaimana dikutip ath-Thabari dan asy-Syaukani.16 Tobat tersebut dilakukan
dengan menyesali kesalahannya, berhenti dari segala kemaksiatan, dan kembali
taat pada ketentuan syariah-Nya.
Kemaksiatan dan Kerusakan
Telah
maklum, dunia kini sedang dilanda krisis ekonomi. Meningkatnya pengangguran,
banyaknya perusahaan yang bangkrut dan gulung tikar, meluasnya kemiskinan,
anjloknya daya beli masyarakat, dan berbagai dampak ikutan lainnya telah
menjadi ancaman yang mencemaskan bagi dunia. Meskipun berbagai langkah telah
ditempuh untuk mengatasinya, hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda
berhasil. Kalaupun suatu saat tampak reda, itu hanyalah bersifat sementara.
Krisis yang sama, bahkan lebih besar akan kembali berulang.
Bagi kaum
Muslim, semestinya tidak sulit mengurai persoalan tersebut. Sebab, ayat ini
telah memberikan panduan amat jelas dalam memandang dan menyikapi setiap
kerusakan yang terjadi di muka bumi. Ada dua perkara penting dari ayat ini yang
patut dijadikan sebagai patokan ketika melihat kerusakan.
Pertama: pangkal penyebab kerusakan.
Menurut ayat ini, penyebab semua kerusakan tersebut adalah ulah tangan manusia
(bimâ kasabat aydî al-nâs). Sebagaimana dijelaskan para mufassir, ulah
tangan manusia yang dimaksud adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa manusia.
Pelanggaran manusia terhadap dînul-Lâh, baik akidah maupun syariah,
itulah yang menjadi penyebab kerusakan. Kesimpulan ini kian jelas jika
dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, serta nash-nash lainnya.
Dalam ayat
sebelumnya, diberitakan bahwa manusia itu diciptakan Allah Swt. Dia pula yang
memberikan rezeki, mematikan, dan menghidupkan manusia. Tidak ada andil sedikit
pun dari sesembahan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Mahasuci Allah dari apa
yang mereka persekutukan (lihat QS al-Rum [30]: 40).
Di samping
mengandung berita, ayat tersebut juga bermakna celaan bagi orang-orang musyrik.
Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, aspek hubungan tersebut dengan sesudahnya (ayat
41), bahwa syirik merupakan sebab kerusakan.17 Dalam ayat sesudahnya (ayat 42)
manusia diperintahkan untuk memperhatikan kesudahan kaum yang menyekutukan-Nya.
Akibat buruk yang dialami kaum musyrik sebelumnya kian mengukuhkan bahwa
kerusakan yang merata di daratan dan di lautan itu disebabkan oleh kemusyrikan
dan kekufuran. Tak aneh jika Qatadah dan as-Sudi pun menafsirkan kata fasâd dalam
ayat ini sebagai syirik.18
Kekufuran
dan kemusyrikan merupakan kemaksiatan terbesar. Kesesatan akidah inilah yang
melahirkan, memproduksi, dan membawa berbagai kemaksiatan lainnya. Tak
berlebihan jika kekufuran dan kemusyrikan disebut sebagai biang utama
kerusakan. Kerusakan yang disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran itu juga
dapat dijumpai dalam ayat lain (Lihat, misalnya, QS Maryam [19]: 89-91).
Di samping
kekufuran dan kemusyrikan, ada beberapa kemaksiatan lainnya yang disebutkan
secara spesifik dapat menyebabkan kehancuran masyarakat. Rasulullah saw.
bersabda:
إِذَا ظَهَرَ
الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ
اللهِ
Jika zina
dan riba telah tampak di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah
menghalalkan diri mereka dari azab Allah (HR ath-Thabrani dan al-Hakim).
Oleh karena
kekufuran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya
kerusakan, tidak jarang al-Quran pun menyebut semua tindakan itu dengan
kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS
al-Baqarah [2]: 11, misalnya, mengandung makna sebagai larangan berlaku kufur,
syirik, dan maksiat.
Kedua: solusi atas kerusakan yang
terjadi. Frasa penutup ayat ini mengisyaratkan, solusi satu-satunya agar
kerusakan di muka bumi tidak berlanjut adalah kembali pada syariah-Nya. Sebab,
pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka bumi adalah perbuatan
maksiat dan dosa. Karena itu, untuk menghentikannya pun dengan cara berhenti
dari maksiat, selanjutnya berjalan sesuai dengan tuntunan syariah. Selama
kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa berhenti.
Berkaitan
dengan hal ini, menarik untuk disimak pemaparan Abu al-Aliyah yang dikutip Ibnu
Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
Siapa saja
yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi, sungguh dia telah melakukan
kerusakan di muka bumi. Sebab, baiknya bumi dan langit disebabkan karena
ketaatan. Oleh karena itu, dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daw dinyatakan:
لَحَدٌّ
يقَامُُ بِهِ فِي اْلأَرْضِ أََحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا
أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
Sungguh
hukum hudûd yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya daripada
mereka diguyur hujan selama empat puluh pagi).
Hal itu
karena jika hudûd ditegakkan dapat membuat manusia—sebagian besar atau
kebanyakan manusia—meninggalkan perbuatan yang diharamkan. Sebaliknya, jika
manusia melakukan maksiat, maka itu menjadi sebab bagi lenyapnya berkah dari
langit dan bumi.19
Berhenti
dari maksiat dan kembali pada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika
belum total, berarti masih ada ruang bagi mereka dalam maksiat.
Patut
ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur totalitas aspek kehidupan
manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]: 3). Syariah mengatur seluruh
hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya; maupun sesamanya. Di samping
berisi hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak; syariah juga
memberikan sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri,
pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib diterapkan. Jika itu dikerjakan,
kerusakan akan lenyap, berganti dengan kehidupan penuh berkah (Lihat: QS
al-A’raf [7]: 96).
Sekularisme-Kapitalisme: Biang Krisis
Tak dapat
dipungkiri, dunia kini sedang dicengkeram ideologi sekularisme. Ideologi ini
telah melahirkan berbagai paham dan sistem yang merusak kehidupan. Dalam
penetapan baik-buruk, ideologi ini mendasarkan pada asas manfaat material
(materialisme), bahkan oleh selera dan kesenangan (hedonisme). Ketika paham itu
mendominasi, apalagi ditetapkan dalam institusi negara, sudah pasti ia
menyebabkan kerusakan. (Lihat: QS al-Mukminun [23]: 71).
Dalam sistem
pergaulan, ideologi ini menuhankan kebebasan (freedom). Sebagai
konsekuensinya, pornografi, free sex, dan homoseksual dianggap sebagai
kewajaran; bukan sebagai kejahatan yang harus diberantas. Perilaku amoral itu
pun memunculkan aneka masalah, mulai dari merebaknya penyakit kelamin,
HIV/AIDS, aborsi, runtuhnya bangunan rumah tangga hingga meningkatnya
kriminalitas.
Dalam
ekonomi, ideologi ini melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini
menjadikan riba, pasar saham, pemberlakuan mata uang kertas, dan kebebasan
kepemilikan sebagai pilarnya; yang semaunya melanggar syariah. Faktanya, semua
pilar itu menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi global. Ketamakan sistem
ekonomi juga menyebabkan kerusakan alam yang amat parah. Nyatalah, kerusakan
global tidak akan bisa diatasi kecuali mengubah sistemnya secara total: dari
Sekularisme-Kapitalisme menuju Islam, di bawah naungan Daulah Khilafah ‘ala
Minhâj an-Nubuwwah.
Wallâh a’lam
bi ash-shawâb. []
Catatan
kaki:
- Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol.
3 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
- Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.
5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 631.
- Al-Baghawi, Ma’âlim
at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 417;
al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 393,
- An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl
wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001),
31.
- Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;al-Alusi, Rûh
al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr,
vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 284.
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.
11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
- Al-Baghawi, Ma’âlim
at-Tanzîl, vol. 3, 417
- Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 1438.
- Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360.
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.
11, 48; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq
at-Ta’wîl, vol. 2, 31; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni
at-Tanzîl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 442.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân
fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992),
192.
- Al-Baghawi, Ma’âlim
at-Tanzîl, vol. 3, 418.
- Penjelasan demikian bisa
dilihat dalam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol.
4, ; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48.
- Al-Baghawi, Ma’âlim
at-Tanzîl, vol. 3, 417.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân,
vol. 10, 192; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 284.
- Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh
al-Ghayb, vol. 25 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1990), 112.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 28
- Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3, 1438.
http://www.haritsridwan.blogspot.com