HOME

Selasa, 25 Februari 2014

KEMUKJIZATAN BASMALAH

Lafadz basmalah yaitu “bismillahirrahmaanirrahiim” yang memiliki makna “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Adapun kelebihan basmalah yaitu :
1. Yang pertama ditulis kalam adalah bismillah. Maka apabila kamu menulis sesuatu, maka tulislah bismillah pada awalnya karena bismillah tertulis pada setiap wahyu yang Allah SWT turunkan kepada Jibril.
2. Bismillah untukmu dan rumahmu, suruhlah mereka apabila memohon sesuatu dengan bismillah. Aku tidak akan meninggalkannya sekejap mata pun sejak bismillah diturunkan kepada Adam. (Hadits Qudsi)
3. Tatkala bismillah diturunkan ke dunia, maka semua awan berlari ke arah barat, angin terdiam, air laut bergelora, mendengarkan seluruh binatang dan terlempar semua syaitan.
4. Demi Allah dan keagungan-Nya, tidaklah bismillah itu dibacakan pada orang yang sakit melainkan menjadi obat untuknya dan tidaklah bismillah dibacakan di atas sesuatu melainkan Allah memberi berkat ke atasnya.
5. Barang siapa yang ingin hidup bahagia dan mati syahid, maka bacalah bismillah setiap kali memulaikan sesuatu perkara yang baik.
6. Jumlah huruf dalam bismillah ada 19 huruf dan malaikat penjaga neraka ada 19 (QS.AL Muddatsir :30). Ibnu Mas’ud berkata : siapa yang ingin Allah SWT selamatkan dari 19 malaikat neraka maka bacalah bismillah 19 kali setiap hari.
7. Tiap huruf bismillah ada junnah (penjaga atau khadam) hingga tiap huruf berkata, “Siapa yang membaca bismillah maka kamilah kekuatannya dan kamilah kehebatannya.
8. Barang siapa yang memuliakan tulisan bismillah niscaya Allah SWT akan mengangkat namanya di syurga yang sangat tinggi dan diampunkan segala dosa kedua orang tuanya.
9. Barang siapa yang membacabismillah, maka akan bertasbihlah segala gunungkepadanya.
10. Barang siapa yang membaca bismillah sebanyak 21 kali ketika hendak tidur, maka akan terpelihara dari gangguan syaitan, kecurian dan kebakaran, maut mendadak dan bala.
11. Barang siapa yang membaca bismillah sebanyak 50 kali di hadapan orang yang zalim, hinalah dan masuk ketakutan dalam hati (si zalim) serta naiklah keberanian dan kehebatan kepada (si pembaca). 
Wallahu a’lam. 
http://www.haritsridwan.blogspot.com

160 Kebiasaan Nabi Muhammad Saw **)

~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW SEKITAR SHALAT
  1. Selalu shalat sunnah fajar
  2. Meringankan shalat sunnah fajar
  3. Membaca surat Al-Ikhlas dan Al-Kafirun dalam shalat fajar (ayat lain yang dibaca Nabi dalam shalat sunnah fajar)
  4. Berbaring sejenak setelah shalat sunnah fajar
  5. Mengerjakan shalat sunnah di rumah
  6. Selalu shalat sunnah empat rakaat sebelum dhuhur
  7. Mengganti dengan empat rakaat setelah duhur jika tidak sempat shalat sebelumnya
  8. Shalat sunnah dua atau empat rakaat sebelum ashar
  9. Shalat sunnah dua rakaat sesudah maghrib
  10. Shalat sunnah setelah Isya’
  11. Mengakhirkan shalat Isya’
  12. Memanjangkan rakaat pertama dan memendekkan rakaat kedua
  13. Selalu shalat malam (waktu shalat malam Rasulullah saw)
  14. Menggosok gigi apabila bangun malam
  15. Membuka shalat malam dengan 2 rakat ringan
  16. Shalat malam sebelas rakaat (format shalat malam Nabi sebelas rakaat)
  17. Memanjangkan shalat malamnya
  18. Membaca surat Al-A’la, Al-Kafirun dan Al-Ikhlas dalam shalat witir
  19. Mengganti shalat malam di siang hari jika berhalangan
  20. Shalat dhuha empat rakaat
  21. Tetap duduk hingga matahari bersinar setelah shalat subuh
  22. Meluruskan shaf sebelum mulai shlaat jama’ah
  23. Mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram, akan ruku’ dan bangun dari ruku’
  24. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
  25. Mengarahkan pandangan ke tempat sujud
  26. Merenggangkan kedua tangan ketika sujud hingga tampak ketiaknya yang putih
  27. Memberi isyarat dengan jari telunjuk ketika tasyahhud dan mengarahkan pandangan ke arah jari telunjuk
  28. Meringankan tasyahhud pertama
  29. Meringankan shalat jika berjama’ah
  30. Menghadap ke arah kanan makmum selesai shalat jama’ah
  31. Bersegera ke masjid begitu masuk waktu shalat
  32. Selalu memperbarui wudhu setiap kali akan shalat
  33. Tidak menshalatkan jenazah yang masih berhutang
  34. Menancapkan tombak sebagai pembatas jika shlaat di tanah lapang
  35. Mengajari shalat kepada orang yang baru masuk Islam
~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW DI HARI JUM’AT DAN DUA HARI RAYA
  1. Membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan dalam shalat subuh di hari Jum’at
  2. Memotong kuku dan kumis setiap hari Jum’at
  3. Mandi pada hari Jum’at
  4. Memakai pakaian terbaik untuk shalat jum’at
  5. Memendekkan khutbah Jum’at dan memanjangkan shalat
  6. Serius dalam khutbahnya dan tidak bergurau
  7. Duduk di antara dua khutbah Jum’at
  8. Membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah dalam shalat Jum’at
  9. Shalat sunnah setelah jum’at
  10. Tidak langsung shalat sunnah setelah Jum’at
  11. Mandi sebelum berangkat shalat Id
  12. Memakai pakaian teraik ketika shalat Id
  13. Makan terlebih dahulu sebelum berangkat shalat Idul Fitri
  14. Baru makan sepulang dari melaksanakan shalat Idul Adha
  15. Shalat Id di tanah lapang
  16. Mengajak semua keluarganya ke tempat shalat Id
  17. Memperlambat pelaksanaan shalat Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat Idul Adha
  18. Langsung shalat Id tanpa Adzan dan Iqomah
  19. Dua kali khutbah dengan diselingi duduk
  20. Pergi dan pulang melalui jalan yang berbeda
  21. Berjalan kaki menuju tempat shalat Id
  22. Membaca surat Qaaf dan Al-Qamar dalam shalat Id
  23. Menyembelih hewan kurban di tempat pelaksanaan shalat Id
~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW DALAM MASALAH PUASA
  1. Puasa dan berbuka secara seimbang
  2. Berbuka puasa sebelum shalat maghrib
  3. Berbuka dengan korma
  4. Tetap puasa meskipun bangun dalam keadaan junub
  5. Berpuasa jika tidak mendapatkan makanan di pagi hari
  6. Membatalkan puasa sunnah jika memang ingin makan
  7. Banyak puasa di bulan sya’ban
  8. Puasa enam hari syawal
  9. Puasa hari Arafah
  10. Puasa Asyura atau sepuluh muharam
  11. Puasa hari senin dan kami
  12. Puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan
  13. Mencium istri di siang hari
~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW DI BULAN RAMADHAN
  1. Memperbanyak sedekah
  2. Memperbanyak membaca Al-Qur’an
  3. Mengakhirkan waktu sahur
  4. Puasa wishal
  5. Memperbanyak shalat malam (menghidupkan malam ramadhan)
  6. I’tikaf
  7. Menghidupkan sepuluh malam terakhir dan membangunkan keluarganya
  8. Menyuruh para sahabat agar bersungguh-sungguh mencari lailatul qadar
~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW DALAM MAKAN DAN MINUM
  1. Tidak pernah mencela makanan
  2. Tidak makan sambil bersandar
  3. Makan dan minum dengan tangan kanan
  4. Makan dengan tiga jari
  5. Menjilati jari-jemari dan tempat makan selesai makan
  6. Mengambil nafas tiga kali ketika minum
  7. Minum dengan duduk dan berdiri
  8. Mulai makan dari pinggir tempat makan
  9. Berdo’a sebelum dan sesudah makan
  10. Tidak pernah kenyang dua hari berturut-turut
  11. Tidak pernah makan di depan meja makan
~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW DALAM TIDURNYA
  1. Tidur dalam keadaan suci
  2. Tidur di atas bahu sebelah kanan
  3. Meletakkan tangan di bawah pipi
  4. Meniup kedua tangan dan membaca do’a lalu mengusapkannya ke badan
  5. Tidak suka tidur sebelum Isya’
  6. Tidur pada awal malam dan bangun di sepertiga akhir
  7. Berwudlu dulu jika akan tidur dalam keadaan junub
  8. Berdo’a sebelum dan setelah bangun tidur
  9. Membaca do’a jika terjaga dari tidur
  10. Tidur matanya namun tidak tidur hatinya
  11. Menyilangkan kaki jika tidur di masjid
  12. Tidur hanya beralaskan tikar
  13. Tidak menyukai tidur tengkurap
~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW DALAM BEPERGIAN
  1. Berlindung kepada Allah dari beban perjalanan jika hendak bepergian
  2. Sengang bepergian pada hari kamis
  3. Senang pergi pada pagi hari
  4. Menyempatkan tidur dalam perjalanan di malam hari
  5. Melindungi diri atau menjauh jika buang haajt
  6. Berada di barisan belakang saat bepergian
  7. Bertakbir tiga kali ketika telah berada di atas kendaraan
  8. Bertakbir saat jalanan naik dan bertasbih saat jalanan menurun
  9. Berdo’a jika tiba waktu malam
  10. Berdo’a jika melihat fajar dalam perjalanan
  11. Berdo’a ketika kembali dari bepergian
  12. Mendatangi masjid terlebih dahulu saat baru tiba dan shalat dua raka’at
  13. Mengundi istri-istrinya jika bepergian
  14. Shalat di atas kendaraan
  15. Menghadap ke arah kiblat terlebih dahulu jika shalat di atas kendaraan
  16. Mendo’akan orang yang ditinggal pergi
  17. Mendo’akan orang yang akan bepergian
  18. Memberi bagian tersendiri kepada orang yang diutus pergi
~ KEBIASAAN-KEBIASAAN NABI SAW DALAM DZIKIR DAN DO’ANYA
  1. Senang berdoa dengan do’a yang ringkas
  2. Membaca istighfar tiga kali dan berdzikir selepas shalat
  3. Membaca istighfar tujuh puluh kali hingga seratus kali setiap hari
  4. Membaca shalat dan salam atas dirinya jika masuk dan keluar dai masjid
  5. Membaca do’a di pagi dan sore hari
  6. Membaca do’a di akhir majlis
  7. Membaca do’a saat keluar rumah
  8. Berdo’a jika masuk dan keluar kamar kecil
  9. Berdoa jika memakai pakaian baru
  10. Berdo’a jika merasa sakit
  11. Berdo’a jika melihat bulna
  12. Memanjatkan do’a di saat sulit
  13. Berdo’a jiika takut pada suatu kaum adan saat bertemu musuh
  14. Berdo’a jika bertiup angin kencang
 ~ PERNIK-PERNIK KEBIASAAN NABI SAW
  1. Selalu mengingat Allah di setiap waktu
  2. Mengulangi perkataan hingga tiga kali dan bicara dengan suara yang jelas
  3. Selalu mendahulukan yang kanan
  4. Menutup mulut dan merendahkan suara apabial bersin
  5. Tidak menolak jika diberi minyak wangi
  6. Tidak pernah menolak hadiah
  7. Selalu memilih yang lebih mudah
  8. Bersujud syukur jika mendapat kabar gembira
  9. Bersujud tilawah jika membaca ayat sajdah
  10. Tidak datang ke rumah pada wkatu malam melainkan pada pagi dan sore hari
  11. Tidak suka berbincang-bincang setelah Isya’
  12. Tidak senang menyimpan harta dan selalu memberi jika ada yang meminta
  13. Mengulang salam hingga tiga kali
  14. Turut mengerjakan pekerjaan rumah
  15. Pergi ke masjid Quba setiap sabtu
  16. Sangat marah jika hukum Allah dilanggar namun tidak marah jika dirinya disakiti
  17. Berubah warna mukanya jika tidak menyukai sesuatu
  18. Memilih waktu yang tepat dalam menasehati
  19. Tidak bohong dalam bergurau
  20. Berdiri apabila melihat iringan jenazah
  21. Baru mengangkat pakaian jika telah dekat dengan tanah saat buang hajat
  22. Buang air kecil dengan jongkok
  23. Bermusyawarah jika membicarakan suatu masalah yang penting
  24. Menyuruh istrinya agar memakai kain jika ingin menggaulinya dalam keadaan haidh
Wallahu a'lam bisshawab.
** Dikutip dari : Akaha, Abduh Zulfidar, 160 Kebiasaan Nabi saw, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2002

http://www.haritsridwan.blogspot.com

Jumat, 14 Februari 2014

MAN ARAFA NAFSAHU FAQAD ARAFA RABBAHU

Dalam sebuah hadits  mengatakan : 
"Barang Siapa Mengenal Dirinya, maka akan mengenal Tuhannya"
Lantas,bagaimana tahap pertama Langkah yg diharus dilakukan untuk mengenal tuhannya? 


Jawabannya adalah, 
Banyak ulama yang mengatakan bahwa terdapat hadits yang mengatakan "Barangsiapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya". Namun beberapa ulama seperti An-Nawawi dan As-Suyuthiy mengatakan bahwa “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)”

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang status kalimat tersebut hadits atau bukan, kalimat ini berselarasan dengan yang dikatakan Allah:

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." [QS Al Hasyr (59):19]

Dalam Buku Minhajul Abidin, Imam al Ghazali menjelaskan dengan detil tentang bagaimana mengenal diri menjadi anak kunci untuk mengenal Allah Swt. Beliau mengatakan ada 7 (tujuh) tahapan (aqabah) untuk mengenal diri.

Pertama adalah "Menuntut Ilmu". Inilah yang dimaksud dalam hadits: "Menuntut ilmu adalah fardlu bagi setiap muslim"
Ibarat sebuah kompas, ilmu adalah alat bagi kita untuk mencapai sebuah tujuan. Ibarat perjalanan jauh di gurun pasir, ilmu adalah bekal yang menemani perjalanan kita.


Tanpa perbekalan yang tepat kita malah akan membawa bekal yang menjadi beban dalam perjalanan. Tanpa perbekalan yang mencukupi, kita dapat kehausan dan kelaparan di tengah perjalanan.

Tanpa kompas, kita akan tersesat menuju tujuan. Seharusnya berjalanan ke timur, kita malah berjalan ke barat. Harusnya terus berjalan, kita berputar-putar disebuah tempat, menyangka bahwa itu adalah tujuan akhir perjalanan. Al-Quran sesungguhnya sumber ilmu, untuk menempuh perjalanan tersebut.

Dalam menuntut ilmu, kita akan mengetahui bahwa awal yang harus dimiliki oleh setiap pencari Tuhan adalah "keikhlasan", namun memahami keikhlasan juga membutuhkan ilmu.

Hanya para pencari yang sungguh-sungguh mencari Allah sajalah yang akan dijemput-Nya. Siapa yang mendekati berjalan, Dia akan menyambutnya dengan berlari. Siapa yang mendekati sedepak, Dia akan mendekatinya sehasta. Dia akan menyambut dengan sangat gembira, melebihi gembiranya seorang yang kehilangan unta di padang pasir luas, dan tiba-tiba untanya kembali.

“Barangsiapa yang mendekati Allah sedepa, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” (HR Ahmad dan Thabrani)

Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?”

Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?”

Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.” Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.” (HR. Muslim)

Jika sungguh-sungguh Allah tujuannya, Allah sendirilah yang akan menjaga dari ketersesatan. Allah sendiri yang akan membimbingnya. Namun cara Allah menuntun kata Rumi (Jalaluddin Rumi) cara yang sangat misterius. Menuntut ilmu, juga merupakan perbekalan untuk menjalani tuntunan-Nya yang sangat misterius itu.

Penjelasan ini yang dimaksud dengan kata-kata Imam al Ghazali : "...semua manusia akan rusak kecuali orang yang berilmu, semua manusia yang berilmu akan rusak kecuali orang yang beramal, semua manusia yang beramal akan rusak kecuali orang yang ikhlas".

Jalan menuju Allah adalah sebanyak jiwa hambanya. Artinya, jalan mengendal diri, akan berbeda satu dengan yang lainnya. Namun patternya sama, seperti yang dijelaskan oleh Imam al Ghazali dalam 7 aqabah tersebut. Detil dalam tiap-tiap aqabah ini yang akan berbeda satu sama lain.

***
Secara sturkturisasi unsur, dalam Al Quran Allah mengatakan ada 3 unsur pembentuk manusia:

1. Jasad, tubuh atau jasmani (al-jism)
2. Jiwa atau diri (an-nafs)
3. Ruh atau nyawa (ar-ruh)

Mengenal diri yang akan menjadi jembatan pengenalan kepada Tuhan, bukan pengenalan kepada unsur jasad (al-jism), tetapi kepada unsur jiwa atau diri (an-nafs).

Jadi bukan pengenalan terhadap bagaimana bentuk mata, telinga, wajah, rambut, tangan, kaki kita yang akan mengantarkan kepada pengenalan kepada Allah, tetapi pengenalan kita kepada jiwa atau diri (an-nafs) yang mengantarkan kita mengenal Allah Swt.

Jiwa atau diri (an-nafs) berbeda dengan ruh atau nyawa (ar-ruh). Kebanyakan orang menyamakannya. Bahkan terkadang kata an-nafs diterjemahkan sebagai ruh. Karenanya saya mengajak sahabat-sahabat untuk mencoba menelisik AQ dengan mencermati kata dalam Arab-nya, untuk melihat spesifikasinya.

Lalu, kenapa pengenalan kita kepada unsur jiwa atau diri (an-nafs) akan mengantarkan kita kepada Allah?

Karena sesungguhnya unsur pembentuk manusia yang dapat "mengenal" dan "selalu bertemu" dengan Allah adalah unsur jiwa atau diri (an-nafs) ini. Saat manusia belum lahir ke dunia, unsur jiwa atau diri (an-nafs) inilah yang melakukan janji setia kepada Allah Swt dengan mengatakan: "balaa syahidna".

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" [QS Al A’raaf (7):172]

Karenanya apabila kita mengenal jiwa atau diri (an-nafs), maka akan mengantarkan kita mengenal Allah Swt.

Ketika seorang manusia meninggal dunia, kita sering mendengar kalimat: "Semoga arwahnya diterima di sisi-Nya". Kata-kata ini sebenarnya kurang tepat, karena mengandung beberapa kerancuan.

Kerancuan pertama adalah mengenai kata "arwah". Arwah adalah jamak dari kata "ruh". Padalah, ruh seseorang adalah tunggal, bukan jamak. Kerancuan yang lain adalah, ruh selalu dalam keadaan suci. Yang terkotori oleh dosa adalah jiwa. Seharusnya yang didoakan adalah jiwa, bukan ruh seseorang.

Ketika seseorang meninggal dunia, maka ruh akan terlepas dari jasad. Ruh inilah yang memberikan "energi" kepada jasad. Sehingga, ketika seseorang masih hidup, jasadnya bisa dirasakan hangat dan tumbuh.

Sementara jika sudah meninggal, jasanya akan dingin karena energinya sudah tidak ada. Ketika jasad dikuburkan, maka jasad akan kembali ke "kampung halamannya" yaitu bumi. Jasad akan hancur. Sementara ruh kembali ke sisi-Nya, tetap dalam keadaan suci sebagaimana pertama kali ia ditiupkan.

Sedangkan yang dialami oleh jiwa (an-nafs), tergantung dari kondisi ketika manusia tersebut ketika masih hidup di alam dunia. Jiwa yang penuh dosa, akan mengalami siksa kubur.

Siksa kubur disini dapat dilihat sebagai proses pembersihan. Sama seperti ketika anak kecil yang habis bermain-main di lumpur. Untuk membersihkan badan si anak, maka perlu dilakukan proses pembersihan melalui mandi. Jika perlu, badan sampai disikat agat bersih.

Tetapi jiwa yang ketika di alam dunia sudah bersih bercahaya, maka ketika manusia tersebut meninggal, sang jiwa hidup disisi Allah dan dapat berjalan-jalan di tengah manusia sampai di kumpulkan kembali di padang mahsyar, namun manusia tidak menyadarinya.

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. [QS Al Anam (6): 122]

Terdapat hadits berkaitan dengan situasi di padang mahsyar, diriwayatkan dari Muadz bin Jabal:
Nabi Muhammad saw bersabda, "Wahai Muadz, sesungguhnya engkau bertanyakan sesuatu yang sangat besar.

Ada 12 kelompok umatku akan dihalau ke Padang Mahsyar. Mereka semuanya itu Allah Maha Kuasa tukarkan, tidak seperti mereka hidup ketika didunia."

Golongan itu adalah seperti berikut:

Pertama, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan tanpa tangan dan berkaki. Mereka adalah orang yang ketika di dunia dulu suka mengganggu tetangganya.

Kedua, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan berupa babi hutan. Mereka adalah orang yang ketika hidupnya meringankan malas dan lalai dalam salat.

Ketiga, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan keledai, mereka Sedangkan perut membesar seperti gunung dan di dalamnya penuh dengan ular dan kalajengking. Meraka ini adalah orang yang enggan membayar zakat.

Keempat, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan darah memancut keluar dari mulut mereka. Mereka ini adalah orang yang berdusta di dalam jual beli.

Kelima, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan berbau busuk lebih daripada bangkai. Mereka ini adalah orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi kerana takut dilihat orang, tetapi tidak takut kepada Allah.

Keenam, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan leher mereka terputus. Mereka adalah orang yang menjadi saksi palsu.

Ketujuh, dibangkitkan dari kubur tanpa mempunyai lidah dan dari mulut mereka mengalir keluar nanah serta darah. Meraka itu adalah orang yang enggan memberi kesaksian di atas kebenaran.

Kedelapan, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan terbalik yaitu kepala kebawah dan kaki keatas, serta farajnya mengeluarkan nanah yang mengalir seperti air. Meraka adalah orang yang berbuat zina dan mati tanpa sempat bertaubat.

Kesembilan, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan wajah hitam gelap dan bermata biru serta perutnya dipenuhi api. Mereka itu adalah orang yang memakan harta anak yatim dengan cara zalim.

Kesepuluh, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan tubuh mereka penuh dengan sopak dan kusta. Mereka adalah orang yang durhaka kepada orang tuanya.

Kesebelas, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan buta, gigi mereka memanjang seperti tanduk lembu jantan, bibir mereka melebar sampai ke dada dan lidah mereka terjulur memanjang sampai ke perut. Perutnya pula menggelebeh hingga ke paha dan keluar beraneka kotoran. Mereka adalah orang yang minum arak.

Keduabelas, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan wajah yang bersinar-sinar bercahaya laksana bulan purnama. Mereka melalui titian sirath seperti kilat yang menyambar.

" Mereka adalah orang yang beramal soleh dan banyak berbuat baik, selalu menjauhi perbuatan durhaka, mereka memelihara salat lima waktu, ketika meninggal dunia keadaan mereka bertaubat dan mendapat ampunan, kasih sayang dan keridhaan Allah. "

Wallahu a'lam bisshawab 

http://www.haritsridwan.blogspot.com


Rabu, 12 Februari 2014

KERUSAKAN DI MUKA BUMI DAN SOLUSINYA



KERUSAKAN DI MUKA BUMI AKIBAT ULAH TANGAN MANUSIA


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).

Tafsir Ayat 

Allah Swt. berfirman: Zhahara al-fasâd fî al-barr wa al-bahr (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab, kata al-fasâd kebalikan dari al-shalâh (kebaikan).1 Segala sesuatu yang tidak terkagori sebagai kebaikan dapat dimasukkan ke dalam al-fasâd.
Berkaitan dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para mufassir berusaha mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Biqa’i menjelaskannya sebagai berkurangnya semua yang bermanfaat bagi makhluk.2 Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, fasâd adalah kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman.3 Al-Nasafi memberikan contoh berupa terjadinya paceklik; minimnya hujan, hasil panen dalam pertanian, dan keuntungan dalam perdagangan; terjadinya kematian pada manusia dan hewan; banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam; dan dicabutnya berkah dari segala sesuatu.4
Selain keadaan tersebut, fasâd juga digambarkan az-Zamakhsyari dan al-Alusi dengan kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat, dan banyaknya madarat.5
Jika dicermati, penjelasan beberapa mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana ditegaskan asy-Syaukani, at-ta’rîf (bentuk ma’rifah) pada kata al-fasâd menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Artinya, kata tersebut mencakup semua jenis kerusakan yang ada di daratan maupun di lautan.6 Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moral, alam, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.
Demikian pula kata al-barr dan kata al-bahr. Huruf al-alif wa al-lâm pada kedua kata itu memberikan makna li al-jins7 sehingga menunjukkan makna semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian bahwa telah tampak dengan jelas semua jenis kerusakan di seluruh muka bumi, baik di daratan maupun lautan.
Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Pangkal penyebabnya disebutkan dalam firman Allah Swt. berikutnya: bimâ kasabat aydî al-nâs (disebabkan oleh perbuatan tangan manusia). Menurut ayat ini, pangkal penyebab semua kerusakan di seluruh muka bumi itu adalah ulah perbuatan manusia. Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Jazairi menafsirkannya: bi zhulmihim wa kufrihim wa fisqihim wa fujûrihim (karena kezaliman, kekufuran, kefasikan dan kejahatan mereka). Al-Baghawi menyebutnya bi syu’ dzunûbihim karena keburukan dosa-dosa mereka).8 Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir memaknainya bi sabab al-ma’âshî (karena kemaksiatan-kemaksiatan).9 Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan bi sabab ma’âshîhim wa dzunûbihim (karena perbuatan maksiat dan dosa mereka).10
Meskipun dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi, al-Nasafi, al-Khazin, dan al-Shabuni.11 Menurut al-Alusi, kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).

Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan syariah-Nya.
Kemudian Allah Swt. berfirman: liyudzîqahum ba’dha al-ladzî ‘amilû (supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka). Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa frasa ini memberikan pengertian: Agar Dia menimpakan kepada mereka hukuman atas sebagian perbuatan dan kemaksiatan yang mereka lakukan.12 Al-Baghawi juga mengatakan bahwa itu adalah hukuman atas sebagian dosa yang telah mereka kerjakan.13 Pendek kata, kerusakan yang timbul akibat kemaksiatan dan kemungkaran itu merupakan hukuman bagi pelakunya di dunia sebelum mereka mendapat hukuman di akhirat.14
Patut dicatat, hukuman di dunia itu, betapa pun dahsyatnya, sesungguhnya masih baru sebagian. Sebab, kata ba’dha al-ladzî ‘amilû menunjukkan, azab yang mereka rasakan saat ini belum seluruhnya. Azab secara keseluruhan akan ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.15 Meski begitu, kerusakan yang kasatmata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk bertobat. Allah Swt. berfirman: la’allahum yarji’ûna (agar mereka kembali [ke jalan yang benar]).
Kata yarji’ûna berarti bertobat. Demikian penafsiran banyak mufassir, seperti al-Hasan sebagaimana dikutip ath-Thabari dan asy-Syaukani.16 Tobat tersebut dilakukan dengan menyesali kesalahannya, berhenti dari segala kemaksiatan, dan kembali taat pada ketentuan syariah-Nya.

Kemaksiatan dan Kerusakan

Telah maklum, dunia kini sedang dilanda krisis ekonomi. Meningkatnya pengangguran, banyaknya perusahaan yang bangkrut dan gulung tikar, meluasnya kemiskinan, anjloknya daya beli masyarakat, dan berbagai dampak ikutan lainnya telah menjadi ancaman yang mencemaskan bagi dunia. Meskipun berbagai langkah telah ditempuh untuk mengatasinya, hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda berhasil. Kalaupun suatu saat tampak reda, itu hanyalah bersifat sementara. Krisis yang sama, bahkan lebih besar akan kembali berulang.
Bagi kaum Muslim, semestinya tidak sulit mengurai persoalan tersebut. Sebab, ayat ini telah memberikan panduan amat jelas dalam memandang dan menyikapi setiap kerusakan yang terjadi di muka bumi. Ada dua perkara penting dari ayat ini yang patut dijadikan sebagai patokan ketika melihat kerusakan.
Pertama: pangkal penyebab kerusakan. Menurut ayat ini, penyebab semua kerusakan tersebut adalah ulah tangan manusia (bimâ kasabat aydî al-nâs). Sebagaimana dijelaskan para mufassir, ulah tangan manusia yang dimaksud adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa manusia. Pelanggaran manusia terhadap dînul-Lâh, baik akidah maupun syariah, itulah yang menjadi penyebab kerusakan. Kesimpulan ini kian jelas jika dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, serta nash-nash lainnya.
Dalam ayat sebelumnya, diberitakan bahwa manusia itu diciptakan Allah Swt. Dia pula yang memberikan rezeki, mematikan, dan menghidupkan manusia. Tidak ada andil sedikit pun dari sesembahan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (lihat QS al-Rum [30]: 40).
Di samping mengandung berita, ayat tersebut juga bermakna celaan bagi orang-orang musyrik. Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, aspek hubungan tersebut dengan sesudahnya (ayat 41), bahwa syirik merupakan sebab kerusakan.17 Dalam ayat sesudahnya (ayat 42) manusia diperintahkan untuk memperhatikan kesudahan kaum yang menyekutukan-Nya. Akibat buruk yang dialami kaum musyrik sebelumnya kian mengukuhkan bahwa kerusakan yang merata di daratan dan di lautan itu disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran. Tak aneh jika Qatadah dan as-Sudi pun menafsirkan kata fasâd dalam ayat ini sebagai syirik.18
Kekufuran dan kemusyrikan merupakan kemaksiatan terbesar. Kesesatan akidah inilah yang melahirkan, memproduksi, dan membawa berbagai kemaksiatan lainnya. Tak berlebihan jika kekufuran dan kemusyrikan disebut sebagai biang utama kerusakan. Kerusakan yang disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran itu juga dapat dijumpai dalam ayat lain (Lihat, misalnya, QS Maryam [19]: 89-91).
Di samping kekufuran dan kemusyrikan, ada beberapa kemaksiatan lainnya yang disebutkan secara spesifik dapat menyebabkan kehancuran masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Jika zina dan riba telah tampak di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah (HR ath-Thabrani dan al-Hakim).

Oleh karena kekufuran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya kerusakan, tidak jarang al-Quran pun menyebut semua tindakan itu dengan kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS al-Baqarah [2]: 11, misalnya, mengandung makna sebagai larangan berlaku kufur, syirik, dan maksiat.
Kedua: solusi atas kerusakan yang terjadi. Frasa penutup ayat ini mengisyaratkan, solusi satu-satunya agar kerusakan di muka bumi tidak berlanjut adalah kembali pada syariah-Nya. Sebab, pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu, untuk menghentikannya pun dengan cara berhenti dari maksiat, selanjutnya berjalan sesuai dengan tuntunan syariah. Selama kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa berhenti.
Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak pemaparan Abu al-Aliyah yang dikutip Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi, sungguh dia telah melakukan kerusakan di muka bumi. Sebab, baiknya bumi dan langit disebabkan karena ketaatan. Oleh karena itu, dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daw dinyatakan:

لَحَدٌّ يقَامُُ بِهِ فِي اْلأَرْضِ أََحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا

Sungguh hukum hudûd yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya daripada mereka diguyur hujan selama empat puluh pagi).

Hal itu karena jika hudûd ditegakkan dapat membuat manusia—sebagian besar atau kebanyakan manusia—meninggalkan perbuatan yang diharamkan. Sebaliknya, jika manusia melakukan maksiat, maka itu menjadi sebab bagi lenyapnya berkah dari langit dan bumi.19
Berhenti dari maksiat dan kembali pada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika belum total, berarti masih ada ruang bagi mereka dalam maksiat.
Patut ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur totalitas aspek kehidupan manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]: 3). Syariah mengatur seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya; maupun sesamanya. Di samping berisi hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak; syariah juga memberikan sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib diterapkan. Jika itu dikerjakan, kerusakan akan lenyap, berganti dengan kehidupan penuh berkah (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).

Sekularisme-Kapitalisme: Biang Krisis

Tak dapat dipungkiri, dunia kini sedang dicengkeram ideologi sekularisme. Ideologi ini telah melahirkan berbagai paham dan sistem yang merusak kehidupan. Dalam penetapan baik-buruk, ideologi ini mendasarkan pada asas manfaat material (materialisme), bahkan oleh selera dan kesenangan (hedonisme). Ketika paham itu mendominasi, apalagi ditetapkan dalam institusi negara, sudah pasti ia menyebabkan kerusakan. (Lihat: QS al-Mukminun [23]: 71).
Dalam sistem pergaulan, ideologi ini menuhankan kebebasan (freedom). Sebagai konsekuensinya, pornografi, free sex, dan homoseksual dianggap sebagai kewajaran; bukan sebagai kejahatan yang harus diberantas. Perilaku amoral itu pun memunculkan aneka masalah, mulai dari merebaknya penyakit kelamin, HIV/AIDS, aborsi, runtuhnya bangunan rumah tangga hingga meningkatnya kriminalitas.
Dalam ekonomi, ideologi ini melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini menjadikan riba, pasar saham, pemberlakuan mata uang kertas, dan kebebasan kepemilikan sebagai pilarnya; yang semaunya melanggar syariah. Faktanya, semua pilar itu menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi global. Ketamakan sistem ekonomi juga menyebabkan kerusakan alam yang amat parah. Nyatalah, kerusakan global tidak akan bisa diatasi kecuali mengubah sistemnya secara total: dari Sekularisme-Kapitalisme menuju Islam, di bawah naungan Daulah Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

  1. Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 3 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
  2. Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 631.
  3. Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 417; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 393,
  4. An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 31.
  5. Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
  6. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 284.
  7. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
  8. Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417
  9. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 1438.
  10. Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360.
  11. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2, 31; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 442.
  12. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 192.
  13. Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 418.
  14. Penjelasan demikian bisa dilihat dalam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4, ; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48.
  15. Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417.
  16. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 192; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 284.
  17. Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 25 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 112.
  18. Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 28
  19. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3, 1438.

http://www.haritsridwan.blogspot.com